[Nasional-m] Menunggu Ledakan Skandal Bisnis Irasional

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Sep 6 02:02:46 2002


Suara Karya

Menunggu Ledakan Skandal Bisnis Irasional
Oleh Susidarto

Jumat, 6 September 2002
Hari-hari belakangan ini, pengelola bisnis irasional semacam Qurnia Subur
Alam Raya (QSAR) pasti jantungan dan dibuat tidak tidur nyenyak. Pasalnya,
para pemilik dana (investor) yang selama ini mempercayakan uangnya pada para
pengelola investasi, pasti juga ikut terpengaruh oleh kegelisahan investor
QSAR. Mereka, yakni para investor, bukan tidak mungkin berlomba untuk
menarik secepatnya uang simpanannya, walau mungkin tanpa bunga (pendapatan)
sekalipun. Yang terpenting, dana investasinya dapat pulang dalam jumlah
utuh, tanpa kurang secuilpun. Ya, bisnis irasional nampaknya mulai redup,
kehilangan "jati diri" dan "kepercayaan", yang mengakibatkan terjadinya rush
(penarikan dana besar-besaran) dari para investor.
Secara perlahan namun pasti, bisnis ini perlahan sirna kehilangan
kepercayaan pasar, akibat meledaknya kasus QSAR serta praktik-praktik bank
gelap selama ini. Gencarnya pemberitaan media massa mengenai persoalan ini
belakangan ini, disertai dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan
maraknya bisnis irasional dan ilegal, mengakibatkan para investor sadar diri
dan kemudian melakukan langkah penarikan dana besar-besaran, tanpa memandang
apakah investasinya selama ini sudah memperoleh keuntungan atau belum. Luar
biasanya, jumlah wadah yang menjalankan bisnis irasional semacam ini konon
mencapai jumlah di atas 40 buah, dan mampu menghimpun dana hingga ratusan
miliar hingga triliunan rupiah. Tidak kalah jika dibandingkan dengan
bank-bank umum komersial biasa.
Puncak Gunung Es


Kasus yang menimpa QSAR, nampaknya merupakan puncak gunung es dari investasi
bagi hasil di Indonesia. Artinya, kasus-kasus serupa sangat banyak
bertebaran dan gentayangan di Indonesia, baik yang berkedok investasi
agrobisnis, emas, multi level marketing, koperasi simpan pinjam, hingga
berkedok bank gelap. Menurut data yang berhasil dihimpun dari berbagai
sumber, tidak kurang terdapat sekitar 40-an lebih lembaga investasi "tidak r
esmi" yang berkedok menggandakan uang, dalam artian uangnya beranak pinak
dalam jumlah besar dalam tempo yang relatif singkat. Beberapa di antaranya
ada yang menggunakan sistem bagi hasil, atau pendapatan bunga, atau berbagai
model keuntungan lainnya.
Luar biasanya, persentase pendapatan bisnis irasional semacam ini sungguh
spektakuler, jauh melampaui Return on Investment (RoI) bisnis normal pada
umumnya. Bisa dikatakan bahwa bisnis ini sungguh tidak normal (abnormal),
bahkan bombastis. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia ternyata lebih
abnormal, karena hanya diiming-imingi sesuatu yang sungguh tidak normal,
ternyata tertarik dan bahkan mengajak rekan-rekan lainnya untuk ikut
menginvestasikan uangnya. Fenomena ini setidaknya mencerminkan bahwa
masyarakat kita sesungguhnya juga sudah "tidak waras" dan irasional. Mereka
sangat gampang dipengaruhi oleh lingkungannya yang sudah ikut-ikutan "tidak
waras".
Fenomena semacam ini sebenarnya sangat tidak wajar. Di tengah kesulitan
ekonomi semacam ini, hampir mustahil mendapatkan investasi yang bisa
menghasilkan return (pendapatan) yang sangat tinggi. Dewasa ini, hampir
tidak pernah dijumpai adanya jenis investasi yang bisa menghasilkan laba di
atas 50 persen. Terlebih untuk investasi di bidang pertanian dan peternakan,
hampir dipastikan hasilnya tidak akan jauh berbeda dengan suku bunga kredit
bank, yang kira-kira mencapai maksimal 25 persen. Maka, kalau banyak anggota
masyarakat yang kemudian tergiur untuk membenamkan uangnya dalam bentuk
penyertaan modal semacam itu, adalah sangat riskan. Fenomena ini merupakan
bentuk investasi gila-gilaan, karena tidak pernah berhitung untung ruginya.
Dilihat dari sisi sisi pengelolaan bisnis, investasi ini juga terasa sangat
janggal. Logika sehatnya mempertanyakan, mengapa si pengelola mencari dana
mahal dari masyarakat, yang berada di atas 50 persen, sementara suku bunga
bank atau money lender lainnya paling-paling berada di bawah 25 persen
(hanya separuhnya saja)? Ini namanya aneh bin ajaib, yang tentunya
mengandung konsekuensi yang tidak kecil bagi si investor. Oleh sebab itu,
sejak awal sebenarnya investasi ini sudah tidak feasible (layak), baik dari
sisi perbankan maupun business like. (kelayakan bisnis) Luar biasanya,
kejanggalan semacam ini nampaknya tidak pernah dipikirkan oleh para
investor. Yang ada dalam benak mereka hanya menikmati keuntungan yang
demikian besarnya dalam tempo singkat.
Mengapa mereka terpikat, terpana dan akhirnya terpincut untuk membenamkan
dananya, meskipun investasi ini tergolong "tidak waras"? Jawabannya
sederhana. Harap maklum, karena banyak pejabat negara, tokoh pemimpin,
selebrities politik, figur panutan yang ikut menanamkan uangnya dan show of
force mengunjungi bisnis ini. Mereka dijadikan benchmarking (rujukan) oleh
si pengelola, sehingga bisa mengeruk investasi masyarakat dengan cepat.
Strategi ini ternyata tepat, karena orang kemudian berbondong-bondong
melakukan investasi abnormal ini, hingga ada yang mencapai nilai di atas Rp
500 juta. Luar biasa, tanpa jaminan apa-apa si investor berani membenamkan
dananya hingga ratusan juta rupiah, opo tumon? Dalam kondisi semacam ini, si
investor yang menanamkan dananya sungguh tidak rasional, dan merupakan
pemimpi berat.
Semestinya, praktik-praktik investasi tidak sehat semacam ini tidak akan
tumbuh subur apabila masyarakat berpikir kritis, dan logis di dalam
mengambil setiap keputusan investasi. Namun yang terjadi sebaliknya,
masyarakat seringkali emosi dan tergiur melihat iming-iming suku bunga yang
"aduhai" tinggi. Padahal, tidak seperti menyimpan uang di bank, yang dijamin
pemerintah, menyimpan uangnya dalam berbagai investasi semacam ini jelas
tidak ada penjaminnya. Logika berpikir semacam inilah yang semestinya
mewarnai setiap keputusan yang diambil masyarakat sebelum membenamkan
uangnya di perusahaan yang menjanjikan suku bunga tinggi. Pertanyaan
berikutnya yang muncul adalah mengapa praktik bisnis semacam ini tumbuh
subur di Indonesia? Jawabannya beragam, di antaranya: Pertama, sebab banyak
orang yang ingin kaya secara mendadak tanpa kerja keras. Mental dan etos
kerja masyarakat belakangan ini sedang berada pada titik nadir yang paling
bawah. Hal ini terlihat dari banyaknya orang yang mempercayakan uangnya pada
perusahaan agrobisnis, atau dalam kasus lain pada perusahaan MLM, kospin,
bank gelap, atau usaha penggandaan uang lainnya, di tengah krisis ekonomi
dan ledakan penggangguran. Padahal, apabila dikaji secara rasional,
pemberian bunga ataupun keuntungan di luar nilai yang wajar (bank umum
paling hanya 20%), adalah sesuatu yang mustahil dan mengundang risiko yang
tidak kecil.
Selain masyarakat penyimpan dana, si pemilik/pengelola usaha juga merupakan
oknum yang juga ingin memperkaya diri dengan cara yang tidak wajar, instant,
dan mudah. Setelah mendapatkan dana (uang) dalam jumlah besar, mereka lalu
kabur tak tahu rimbanya. Luar biasanya, perusahaan semacam ini sering juga
menggunakan konsultan ahli atau dewan pakar/penasihat ekonomi yang notabene
merupakan akademisi dan ilmuwan yang selama ini menjunjung tinggi
integritas, kredibilitas dan kejujuran. Semua kalangan nampaknya sudah silau
dengan yang namanya fulus, yang bisa mengalahkan segalanya, termasuk
integritasnya sebagai dosen/peneliti/akademisi dan seterusnya.
Kedua, banyak masyarakat kita yang masih buta akan berbagai bentuk dan jenis
investasi. Mereka sebenarnya memerlukan jasa penasihat keuangan, atau
konsultan ahli, yang mampu memberikan nasihat investasi. Pendek kata kalau
ada perusahaan yang memberikan iming-iming suku bunga tinggi, masyarakat
menganggap itu layak dipercaya. Setelah sebuah tragedi memilukan terjadi,
baru masyarakat yang bersangkutan saling menyalahkan dan sadar bahwa selama
ini mereka sudah tertipu oleh janji dan rayuan si pengelola perusahaan. Oleh
sebab itu, proses edukasi investasi pada masyarakat sudah layaknya dilakukan
terus menerus agar tercipta kesadaran di kalangan masyarakat bahwa mereka
seharusnya menginvestasikan dananya di berbagai bentuk porfolio investasi
yang sehat, atau di bank.
Menunggu Ledakan


Judul tulisan di atas bukanlah bombastis atau mengada-ada. Melalui momentum
meledaknya skandal investasi QSAR, setidaknya akan segera diikuti oleh
ledakan skandal investasi irasional lainnya. Seperti disinggung di atas,
setidaknya masih ada 40-an perusahaan bisnis yang melakukan praktik
investasi tidak sehat. Mungkin, selama ini mereka masih tahan dengan pola
investasi "gali lubang, tutup lubang". Artinya, dana yang masuk terakhir,
dipergunakan untuk membayar bunga atau pendapatan si investor yang lebih
awal. Nah, apabila nantinya sudah tidak ada lagi investor baru yang
membenamkan dananya, mereka jelas akan kesulitan cash flows, akibat tidak
seimbangnya antara cash out (uang keluar) dan cash in. (uang masuk). Nah,
apabila masyarakat kemudian menjadi sadar akan bahaya investasi yang sudah
dibenamkan selama ini, dan melakukan rush (pengambilan dana besar-besaran
dalam tempo singkat), hampir dipastikan akan banyak perusahaan penggandaan
uang yang akan kolaps. Bukan tidak mungkin, mereka akan ramai-ramai
memailitkan bisnisnya, dan masyarakat investor yang akan gigit jari. Ledakan
kolapsnya bisnis irasional ini, setidaknya hanya tinggal menunggu waktu
saja. Semakin rasional para investor, maka keruntuhan bisnis irasional
tinggal menghitung hari. Keberadaan bisnis irasional ini tinggal menunggu
waktu, dan nasibnya berada di tangan investor. Mereka jelas akan kesulitan
likuiditas dan cash flows, sehingga tutup dengan sendirinya.
Akhirnya, berbagai bentuk bisnis irasional, sudah saatnya dibatasi ruang
geraknya. Dalam hal ini, masyarakat tidak bisa "hanya" mengandalkan
pemerintah sebagai filter pertama, sebab banyak diantara mereka yang
mengantungi ijin resmi dari pemerintah. Bukankah praktik jual beli ijin
dapat dengan mudah diperoleh di Indonesia ini? Bahkan mereka bisa "membeli"
pejabat untuk meresmikan proyek "edannya" dengan mudah. Masyarakat sendiri
yang harus mempunyai kepekaan intuisi apabila dirinya ditawari dengan bisnis
yang irasional. Masyarakat, setidaknya harus sadar bahwa bisnis semacam ini
bukan membuatnya untung, namun justru buntung (rugi).
Selain itu, pemerintah daerah harus tegas kalau sekiranya di daerahnya ada
praktik-praktik keuangan ilegal yang berhubungan dengan dana masyarakat
banyak. Aktivitas bisnis yang mencurigakan semacam itu, harus segera
diakhiri. Sering yang terjadi, pihak pemda senantiasa terlambat di dalam
mengantisipasi kejadian semacam ini. Mereka akan mulai beraksi menutup dan
menuntut kalau sudah ada laporan dari masyarakat yang terlanjur dirugikan.
Semestinya jajaran pemda tanggap terhadap sesuatu yang ada di kawasan
pemerintahannya. Jangan diam-diam saja, justru mendukung karena ikut
"kecipratan": untung (kolusi), seperti yang terjadi di berbagai daerah
selama ini.
(Susidarto, pelaku bisnis UKM, tinggal di Jakarta).