[Nasional-m] Kelaparan Itu Mestinya Tak Terjadi

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Sep 2 08:59:35 2002


Kompas
Senin, 2 September 2002

Kelaparan Itu Mestinya Tak Terjadi

WAJAH Ijon (38) dan empat rekannya tampak pias. Tubuh mereka menggigil,
separuh badan terendam air. Tetapi mereka tak peduli. Kelima warga itu
ditemui saat menjaring ikan di tepi Sungai Rungan (anak Sungai Kahayan),
Jumat (30/8) siang. Dengan ikan hasil tangkapan itulah mereka bakal
memperpanjang hidup mereka dan keluarga.
Sudah dua hari terakhir ini perut mereka tak diisi nasi karena persediaan
beras dan kebutuhan lain di rumah sudah melompong. Untuk bertahan hidup,
mereka mencari ikan. Ikan-ikan hasil tangkapan itu kemudian dibakar atau
direbus-tanpa bumbu karena memang tak ada lagi di dapur -untuk sekadar
mengganjal perut.
Ny Normi (58) lain lagi. Perempuan yang tergolong renta itu dipergoki saat
keluar dari dalam hutan. Seluruh wajah dan tubuhnya dibasahi keringat.
Petang itu, Ny Normi telah berjalan kaki sejauh 2,5 kilometer dari dalam
hutan.
"Mencari makan rasanya makin susah, padahal usia sudah setua ini. Beruntung
di hutan masih ada banyak ubi dan buah-buahan yang bisa dijadikan bahan
makanan. Kalau cuma berdiam diri di rumah, sama artinya mati kelaparan,"
ujar Ny Normi dengan napas tersengal.
Itulah potret kondisi kehidupan warga Kelurahan Petuk Barunai, Laurahan
Mungku Baru, dan Kelurahan Panjehang, Kecamatan Bukit Batu, Kota
Palangkaraya, yang sepekan terakhir dilanda kelaparan.
Setidaknya 2.789 jiwa warga saat ini terkurung akibat krisis pangan.
Masing-masing warga mencari cara untuk bertahan hidup. Ada yang seharian
berburu ikan di Sungai Rungan, ada juga yang masuk hutan belantara mencari
buah apa saja yang bisa dimakan.
"Bila malam, warga pria siaga penuh, dilengkapi senjata mandau (senjata khas
suku Dayak-Red) dan tombak. Suasana kampung seperti mau berangkat perang.
Kalau-kalau ada perahu alkon yang melintasi kawasan kampung, akan kami
sweeping," ujar Wandi, warga Petuk Barunai.
Aksi penjarahan ikan dengan strum listrik dan racun oleh nelayan dari luar,
di sungai-sungai Petuk Barunai, meresahkan warga. Kegiatan itu dianggap
memicu kelaparan di kawasan itu. Masalahnya, 80 persen dari 2.789 jiwa warga
setempat mengandalkan hasil nelayan.
***
MENURUT Lurah Petuk Barunai, Simen, pemicu krisis pangan yang bermuara pada
bencana kelaparan yang menimpa sebagian warga sebenarnya lebih disebabkan
oleh komoditas yang selama ini menjadi tumpuan ekonomi warga-seperti rotan,
damar, ikan, dan kulit gembor-belakangan gagal terpasarkan.
Di sisi lain, suplai bahan pokok dan bahan bakar minyak (BBM) terhenti total
sejak awal Agustus, yaitu sejak alur Sungai Rungan mendangkal. Air sungai
tak cukup diarungi perahu. Sedangkan jalan darat yang langsung dari ketiga
desa tadi-Petuk Barunai, Mungku Baru, dan Panjehang-ke pusat Kota
Palangkaraya masih belum ada.
Ketiga kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan Bukit Batu ini secara
administratif masih termasuk wilayah Kota Palangkaraya, ibu kota Provinsi
Kalimantan Tengah (Kalteng). Tetapi jarak antara pusat Kota Palangkaraya
dengan ketiga desa tadi mencapai 70 kilometer. Itu pun perjalanan masih
dilanjutkan dengan berjalan kaki di "jalan HPH" sejauh enam kilometer dan
naik perahu alkon yang ditempuh selama satu jam.
Kompas yang berada di Kelurahan Petuk Barunai akhir pekan lalu sempat dibuat
terkejut. Begitu alkon merapat di Kelurahan Petuk Barunai, warga serta-merta
menyambut dengan tatapan mata penuh curiga. Mereka pun berhamburan ke luar
rumah. Tetapi setelah dijelaskan Lurah Petuk Barunai, mereka berubah sikap
agak ramah.
Suasana kampung tampak senyap. Kampung itu memiliki panjang jalan 400 meter.
Setelah dicermati, hanya enam rumah yang terlihat ada cahaya lampu,
sedangkan sisanya, 67 rumah, terlihat gelap gulita.
"Sudah satu pekan ini warga tidak menggunakan lampu di malam hari. Minyak
tanah sekarang langka. Ada uang, tapi barang tak ada. Maka, warga pun
terpaksa membiasakan diri tidur tanpa lampu. Biasanya sebagai gantinya warga
pakai lampu obor sebagai penerang," ujarnya.
Suasana itu menguatkan kesan sebuah desa yang amat terpencil, terisolir, dan
tak pernah tersentuh oleh pembangunan. Padahal, desa tersebut hanya berjarak
70 km dari pusat kota, tetapi suasana gelap gulita.
***
BENCANA kelaparan di tiga kelurahan di Palangkaraya itu seharusnya bisa
dicegah. Ini kalau pihak aparat Kecamatan Bukit Batu dan Pemerintah Kota mau
merespons surat Lurah Petuk Barunai tertanggal 26 Agustus 2002 tentang
ancaman kelaparan. Namun, sampai Minggu kemarin, surat itu belum juga
mendapat tanggapan.
Kalau saja laporan itu segera diantisipasi, saat itu alur Sungai Rungan-yang
merupakan urat nadi transportasi warga ketiga desa tadi ke dunia luar-masih
bisa dilayari kelotok berkapasitas dua ton. Masyarakat mungkin akan
terselamatkan. Namun, dalam tiga hari terakhir, air sungai surut secara
drastis, dan nyaris kering.
Agaknya, kalangan pejabat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalteng masih alergi
mendengar kata "krisis pangan", "kelaparan", atau "wabah penyakit". Pejabat
cenderung hanya membantah berita daripada segera turun untuk mengecek ke
lapangan dan melakukan langkah-langkah antisipasi.
Gubernur Kalteng Asmawi Agani ketika melepas Merdeka Safari Off Road (MSO)
dan memberikan bantuan dua ton beras dari Dana Kemanusiaan Kompas (DKK) bagi
Kabupaten Gunung Mas, Jumat pagi, mengatakan bahwa stok beras (di Kalteng)
sebenarnya masih cukup sampai bulan Desember mendatang.
"Hanya saja, sekarang ini persoalannya kesulitan angkutan ke pedalaman
sehingga harga-harga kebutuhan pokok menjadi tinggi, bahkan ada wilayah yang
sudah langka sembako," ujar Asmawi.
Gubernur menjanjikan akan berkunjung ke desa-desa tersebut. Meskipun
demikian, ia akan memprioritaskan kunjungannya ke Desa Lampeong, Kecamatan
Gunung Purei, Kabupaten Barito Selatan, yang dilaporkan sudah lebih dahulu
mengalami bencana kelaparan. Harga beras di Lampeong mencapai Rp 7.000/kg,
tetapi barang tak sampai ke desa itu. (ALFRIDEL JINU)