[Nasional-m] Amien Rais: Bentuk Tim Solid Tangani Terorisme

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed, 23 Oct 2002 23:03:18 +0200


KCM
Kamis, 24 Oktober 2002

Amien Rais: Bentuk Tim Solid Tangani Terorisme

Malang, Kompas - Presiden Megawati Soekarnoputri diharapkan membentuk sebuah
tim yang solid untuk menghadapi ancaman terorisme dan mengungkap tindak
pidana terorisme di Indonesia. Tim yang bertanggung jawab langsung kepada
Presiden diharapkan dapat memberikan laporan kepada Presiden setiap 12
jam.Hal itu dikatakan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais
kepada pers, Rabu (23/10), di Malang, Jawa Timur. "Setidaknya, sepulang dari
luar negeri nanti, Presiden Megawati harus mengumpulkan pihak-pihak
kepolisian, Badan Intelijen Negara, Badan Intelijen Strategis TNI, Kejaksaan
Agung, dan seterusnya, untuk membentuk tim solid penanganan terorisme di
Indonesia. Buat tim solid yang melaporkan setiap 12 jam sekali kepada
Presiden," kata Amien Rais.

Presiden Megawati, sejak Selasa malam meninggalkan Tanah Air menuju Meksiko
untuk menghadiri Pertemuan Pemimpin Ekonomi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik
(APEC). Amien Rais menilai, selama ini belum terlihat ketegasan yang
dilakukan Presiden Megawati.

Ia mengharapkan, sepulang dari Meksiko nanti, Presiden Megawati secara tegas
memimpin koordinasi tim solid yang secara langsung bertanggung jawab
kepadanya. Jika hal ini tidak dilakukan, dikhawatirkan muncul saling
kecurigaan secara horizontal di dalam negeri dan memunculkan konflik
horizontal pula. "Bom di Legian ini bukan lagi masalah domestik, tetapi
masalah internasional yang harus disikapi secara tegas oleh pemerintah,"
kata Amien.

Sebelum meninggalkan Tanah Air, Megawati telah menandatangani dua instruksi
presiden (inpres). Inpres No 4/2002 menugaskan Menteri Koordinator Bidang
Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk
merumuskan kebijakan komprehensif dan terpadu bagi pemberantasan tindak
pidana terorisme, termasuk peristiwa peledakan bom di Bali 12 Oktober 2002.
Menko Polkam juga diberi tugas untuk menyusun langkah-langkah operasional
yang meliputi aspek penangkalan, pencegahan, penanggulangan, penghentian,
penyelesaian, dan segala tindakan hukum yang diperlukan bagi pemberantasan
tindak pidana terorisme.

Megawati juga mengeluarkan Inpres No 5/2002 yang menugaskan Kepala Badan
Intelijen Negara (BIN) mengoordinasikan seluruh kegiatan intelijen sehingga
tercipta satu kesatuan masyarakat intelijen Indonesia yang secara
sendiri-sendiri ataupun bersama-sama mampu bekerja secara efisien dan
efektif.

Didukung

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Soetardjo Soerjogoeritno mendukung
keluarnya Inpres tentang koordinasi intelijen oleh BIN. Ia menilai,
koordinasi antar-intelijen itu sangat diperlukan sehingga aksi terorisme
seperti yang terjadi di Bali dapat dihindari di kemudian hari.

"Semua membutuhkan koordinasi antara intelijen-intelijen yang ada. Dengan
adanya koordinasi intelijen, apa yang seharusnya terjadi di Bali tidak harus
terjadi lagi. Intelijen kita kan bolong. Untuk menghindari kebolongan itu
lalu diadakan peningkatan fungsi BIN, sehingga BIN menjadi koordinator,"
kata Soetardjo.

Dengan adanya koordinasi oleh BIN, menurut dia, diharapkan semua informasi
intelijen dapat disatukan. "Saya rasa perlu koordinasi itu, sehingga
masing-masing tidak jalan sendiri. Nanti kalau jalan sendiri-sendiri bilang
itu antek dari Amerika kan susah," kata Soetardjo.

Wakil Ketua Komisi I DPR Ishak Latuconsina menilai pengoordinasian intelijen
oleh BIN bagus, karena selama ini BIN tidak melakukan koordinasi intelijen,
tetapi menjalankan operasi intelijen sendiri. "Kalau dulu Badan Koordi-nasi
Intelijen Negara (Bakin) mengoordinasikan, tidak melaksanakan sendiri
intelijen. BIN terbalik, BIN melaksanakan sendiri kegiatan intelijen, tetapi
tidak ada tugas mengoordinasikan secara eksplisit. Setelah keluarnya Inpres
ada koordinasi," katanya.

Sedang Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Ryamizard Ryacudu
mengatakan, koordinasi pelaksanaan operasional kegiatan intelijen di bawah
BIN memang dibutuhkan. Namun demikian, KSAD berharap koordinasi intelijen
dapat berjalan dengan baik, sehingga unsur-unsur intelijen dapat saling
mengisi.

"Peran masing-masing unsur intelijen, kan berbeda-beda. Intelijen tentara
saja berbeda dengan intelijen polisi. Peran intelijen polisi berada pada
lingkup keamanan dan ketertiban masyarakat, sedang tentara pada lingkup
pertahanan," jelas Ryamizard kepada wartawan, Rabu, di sela-sela latihan
bersama TNI AD dan Singapore Armed Force (SAF) di Markas Divisi Infanteri-1
Komando Cadangan Strategis TNI AD (Kostrad), Cilodong, Jawa Barat.

Menurut Ryamizard, kelak jika koordinasi berjalan dengan baik maka
jaring-jaring intelijen yang selama ini terkoyak akan terbangun kembali.

Soal sistem

Di tempat terpisah, pengamat politik dari Universitas Indonesia Eep
Saefulloh Fatah mengatakan, koordinasi intelijen di Indonesia dipersulit
oleh ketiadaan sistem yang jelas. Padahal, masalah intelijen adalah masalah
yang sangat serius. Karena itu, diperlukan aturan-aturan main yang membuat
fungsi intelijen tetap sejalan dengan demokratisasi. "Sistem intelijen kita
belum ada bentuknya karena memang tidak ada satu pun aturan," kata Eep
kepada pers di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah, Jakarta, Rabu.

Eep mengatakan, di Perpu Antiterorisme disebutkan mengenai laporan
intelijen. "Yusril (Yusril Ihza Mahendra, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia-Red) menjelaskan, yang disebut laporan itu bukan informasi
intelijen, melainkan laporan resmi yang sudah diotorisasi oleh orang yang
punya otoritas melaporkan atas nama lembaga. Oke kita terima, tetapi siapa
yang dapat menjamin bahwa laporan itu adalah laporan yang secara kredibel
merupakan hasil dari interogasi atau pencarian informasi yang bonafide?
Tidak ada sistemnya," kata Eep.

Selain sistem yang tidak ada, menurut Eep, sumber daya manusia intelijen di
Indonesia sebagian besar atau seluruhnya adalah mereka yang memang dididik
menjadi intel dari zaman dulu, dari masa lampau. Oleh karena itu,
jangan-jangan perspektif mereka tentang intelijen itu tidak mengalami
perubahan.

"Dulu kita menghabiskan waktu untuk membiarkan intelijen memata-matai rakyat
karena ternyata yang didefinisikan sebagai musuh itu adalah rakyat.
Intelijen sebetulnya adalah alat untuk membuat negara merasa lebih aman
dengan informasi tentang musuh negara. Ketika intelijen menghabiskan banyak
waktu untuk memata-matai rakyat, itu implisit diakui bahwa rakyatlah musuh
negara. Kalau perspektif ini tidak berubah, maka bahaya betul," ujar Eep.

Kini, Indonesia harus memikirkan kerja intelijen menghadapi perang terorisme
dengan melihat apa yang sudah mereka miliki sekarang. Selama ini intelijen
bergerak sendiri-sendiri. Ketika konsep BIN dirumuskan, kata Eep, niat yang
baik memang ada, yakni BIN ini bukan institusi militer, tetapi institusi
negara yang sipil. Siapa pun bisa menjadi kepala BIN dan kepala BIN haruslah
orang yang mempunyai kredibilitas untuk menyusun informasi yang kredibel
terhadap pemerintah. Selain itu, intelijen negara di berbagai tempat di
dunia, itu adalah koordinator dari berbagai praktik intelijen dari
satuan-satuan lain yang lebih kecil.

"Jadi, ketika Yoga Sugama meletakkan kerja BIN dengan intelijen yang lain,
gagasan besarnya adalah itu. Tetapi kemudian keduanya menghadapi masalah.
Pertama, ternyata BIN menjadi intelijen tentara yang kerjanya sangat
militeristik, bukan pekerjaan intelijen yang seharusnya. Kedua, ketika
melakukan koordinasi, itu dipersulit oleh ketiadaan sistem yang jelas dan
ketiadaan hubungan antarbadan intelijen yang diatur oleh aturan-aturan main
yang juga jelas," kata Eep. (naw/lok/bur/lam)



---
Outgoing mail is certified Virus Free.
Checked by AVG anti-virus system (http://www.grisoft.com).
Version: 6.0.404 / Virus Database: 228 - Release Date: 2002-10-15