[Nasional-m] Krisis "Moral" Institusi

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue, 22 Oct 2002 21:37:00 +0200


Suara Karya

Krisis "Moral" Institusi
Oleh Bursyah Syarnubi

Rabu, 23 Oktober 2002
Krisis institusi kini benar-benar terjadi di Indonesia. Krisis institusi tak
hanya terjadi di DPR, yakni dengan mencuatnya isu suap, tetapi juga sudah
menjelma hingga di Kejaksaan Agung sebagai lambang keadilan dan penegakan
supremasi hukum. Dulu, Jaksa Agung Marzuki Darusman diduga meloloskan
Syamsul Nursalim, konglomerat yang terlibat kasus BLBI, ke Singapura.
Padahal itu merupakan tanggung jawab politik dan hukum Jaksa Agung waktu itu
sebagai pejabat publik. Namun, dia toh tidak mendapatkan sanksi apa-apa,
karena permasalahannya memang tak sempat terungkap ke permukaan.

Kini, Jaksa Agung MA Rachman menjadi sorotan publik karena diduga "tidak
jujur" dalam melaporkan kekayaannya ke Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara (KPKPN), meski dalam kasus demikian, konon, juga banyak
menimpa sejumlah pejabat lainnya termasuk di antara anggota KPKPN sendiri.

Sebagai masyarakat akademis, kita prihatin situasi yang melanda institusi
Kejaksaan Agung. Bagaimana tidak, Kejaksaan Agung diduga membiarkan broker
berkeliaran memperdagangkan perkara, lalu Jaksa Agung sendiri diduga
menerima hadiah. Kalau terbukti menjadi broker demikian sudah selayaknya
dikenakan sanksi hukum, karena tindak kejahatan yang dilakukannya. Kalau
sampai banyak orang berani memperdagangkan hukum di negara hukum, itu
kriminal besar. Jadi, selain terjadi krisis kepemimpinan, kita juga
mengalami krisis institusi yang serius.

Kenapa bisa begitu, karena kita belum pernah ada contoh yang signifikan
bahwa pejabat publik yang melakukan kesalahan mendapatkan punishmen secara
tegas. Mestinya, seperti yang dipertontonkan Republik Rakyat Cina, kalau ada
tanda-tanda pejabat publik melakukan korupsi langsung dilakukan pengusutan
dan dihukum berat agar jera. Dengan dihukum berat, kita berharap orang lain
tidak akan melakukan korupsi. Pejabat publik yang melakukan korupsi tak
hanya merusak citra lembaga yang bersangkutan, tetapi dia juga merugikan
pembangunan, merugikan masyarakat.

Kalau suap, korupsi dan ketidakjujuran sudah menjadi keburukan institusi
kita sehari-hari, bagaimana halnya dengan masyarakat kita. Masyarakat tak
percaya lagi pada hukum. Seperti terlihat selama ini, masyarakat pun
menempuh cara tersendiri dalam menegakkan hukum.

Salah satu institusi yang kini mendapatkan sorotan tajam dari masyarakat
adalah DPR, karena isu suap. Isu suap di DPR kini memasuki babak baru;
Permadi menuduh Wakil Ketua DPR AM Fatwa menerima suap. Persoalan itu kini
hendak dituntaskan secara hukum. AM Fatwa sudah mengadukan Permadi ke pihak
kepolisian.

Aspirasi Rakyat


Kini ada kesan kuat, kalangan dewan kurang menyadari posisinya sebagai
penjelmaan dari aspirasi rakyat yang diinstitusionalisasi secara
representatif. Mestinya para anggota dewan menyadari posisinya yang sangat
berharga dalam putaran politik demokrasi. Dan karenanya, mereka harus
memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengartikulasi dan mengagredasikan
aspirasi rakyat.

Isu suap - dalam proses divestasi Bank Niaga dan revisi APBN 2002,
misalnya - sempat menggoyang lembaga bergengsi di Senayan itu. Namun kalau
kita mau jujur, suap merupakan gejala umum dari kelompok elite politik dan
sebagian dari para pemimpin nasional. Mobil bagus dan rumah mewah yang
mereka miliki dinilai oleh sementara orang sebagai "tidak steril" dari virus
suap. Padahal belum tentu pandangan macam itu benar adanya sejauh tidak
terbukti secara hukum.

Persoalan suap tak lagi sekedar isu, tetapi sungguh telah menjadi nyata
dalam proses-proses politik dan ekonomi. Seperti dikemukakan Kwik Kian Gie,
belum lama ini, isu suap di DPR sudah sering terjadi. Pengakuan anggota DPR
Meilono Soewondo dan Indira Damayanti Sugondo beberapa waktu lalu bahwa
mereka telah mengembalikan uang suap yang diberikan kepada mereka barangkali
bisa menjadi indikasi terjadinya suap di lembaga wakil rakyat tersebut.

Kalau banyak kalangan mengarahkan cibirannya ke lembaga legislatif di
Senayan, itu tentu tak bermaksud untuk mendiskreditkan lembaga yang secara
politik memang merupakan manifestasi kedaulatan rakyat. Cibiran, atau
mungkin tudingan sementara kalangan yang diarahkan ke DPR Senayan harus
dipahami bahwa rakyat masih peduli dan memberi perhatian kepada lembaga
terhormat tersebut. Kita ingin agar DPR mampu menjalankan tugas
konstitusionalnya secara baik, terlepas dari kepentingan individu dan
kelompok.

Tetapi itu tampaknya masih merupakan harapan. Dalam konstelasi politik kita
sekarang ini, antara parlemen sebagai institusi dan rakyat yang memilihnya
seharusnya saling berkaitan. Ibaratnya, ketika rakyat menangis, DPR juga
harus ikut bersedih hati. Ketika rakyat kelaparan, DPR pun perlu menunjukkan
keprihatinannya. Para anggota dewan tak perlu lugas dan berlebihan
mempertontonkan kekayaan mereka .

DPR juga tidak seharusnya bersikap sangat permisif. Mereka harus dapat
memilah-milah, mana yang boleh dilakukan dan mana yang terlarang bagi
anggota dewan. Bagi pejabat publik pada umumnya nilai-nilai moral sepertinya
sudah menjadi barang langka. Kecerdasan dan kejernihan berfikir tak lagi
mampu menawarkan solusi. Kekerasan, ketidakadilan dan kebohongan menjadi
mahkota tertingi. Sementara itu hukum pun tersumbat.

Pejabat publik sekarang ini seperti kehilangan rasa malu. Kalau kita hitung,
berapa gaji mereka itu, lantas dari mana duitnya kalau mereka bisa memiliki
mobil mewah dan bisa membangun rumah bagus. Mereka idealnya perlu
menjelaskan apa yang telah mereka peroleh secara jujur dan terbuka kepada
masyarakat.

Persoalannya, memang sejak lama kita tidak berjalan di atas sistem yang
benar. Proses kenegaraan kita tidak berjalan dengan akal sehat. Ini yang
membuat sistem kita ambruk. Bagaimana tidak, banyak di antara para pejabat
publik yang gajinya sudah kita ketahui tapi mampu menyekolahkan anak-anaknya
ke luar negeri. Banyak di antara mereka pun mempunyai perusahaan ini dan
itu.

Persoalan mendasarnya adalah bahwa kita tidak berjalan di atas sistem yang
benar. Orang tidak lagi menghargai moralitas. Sementara itu peran kaum
agamawan mandul. Orang rajin beribadah, tetapi nilai-nilai kebenaran yang
mereka peroleh tidak mampu membendung keinginan untuk berbuat dengan
merugikan orang lain; melakukan korupsi, memanipulasi dan tak merasa malu
menerima suap atau sejenisnya. Masyarakat kita sudah sangat kacau, karena
tidak ada keteladanan dari pemimpin untuk berjalan di atas sistem yang
benar. ***

(Penulis adalah Ketua Umum Forum Alumni HMI).


----------------------------------------------------------------------------
----





---
Outgoing mail is certified Virus Free.
Checked by AVG anti-virus system (http://www.grisoft.com).
Version: 6.0.404 / Virus Database: 228 - Release Date: 2002-10-15