[Nasional-m] Indonesia dan Ironi Pangan Dunia

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed, 16 Oct 2002 01:16:00 +0200


Dunia mereka
 Rabu, 16 Oktober 2002 Karangan Khas

Indonesia dan Ironi Pangan Dunia
Oleh: Toto Subandriyo

ADA baiknya pada peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) yang jatuh setiap
tanggal 16 Oktober kita renungkan data statistik dan peta pangan dunia.
Badan Pangan Dunia (FAO) telah mengungkapkan
saat ini tidak kurang dari 815 juta penduduk dunia bergulat melawan
kelaparan yang hebat. Tragedi ini mengakibatkan tiap empat detik satu jiwa
melayang.
Juga diungkapkan oleh FAO, setiap lima penduduk menderita kekurangan gizi.
Sekitar 777 juta jiwa pangan mengalami kelangkaan pangan yang tinggal
selangkah lagi masuk kategori menderita kelaparan.
Di sebagian besar negara berkembang di Dunia Ketiga, angka kematian
anak-anak sangat fantastis. Sebesar 55 persen dari 12 juta anak-anak
meninggal setiap tahun akibat kekurangan gizi, sedangkan angka kematian ibu
melahirkan di Asia dan Afrika menunjukkan angka yang cukup tinggi yaitu 20
persen.
Ada 13 juta orang di Afrika bagian selatan bagian dari 815 juta jiwa di
belahan dunia lain tengah berjuang keras sekadar untuk tetap hidup. Di sisi
lain ada 300 juta penduduk di negara maju juga berjuang keras melawan
kegemukan. Ironis memang!
Masih tingginya angka kelaparan tersebut mengindikasikan komitmen para
pemimpin dunia, utamanya negara maju, yang mempunyai kapasitas lebih untuk
mengurangi tragedi kemanusiaan dunia itu hanya sebatas retorika belaka.
Pada KTT FAO tahun 1996 di Roma, mereka sepakat mengurangi angka penderita
kelaparan dari 840 juta menjadi 400 juta pada tahun 2015. Melihat kecilnya
angka pengurangan penderita kelaparan yang saat ini masih berjumlah 815 juta
orang tersebut menimbulkan skeptisme yang tinggi tentang kemampuan dunia
untuk mengurangi angka penderita kelaparan yang sudah menjadi isu global dan
kebetulan fenomena tersebut melanda pada negara Dunia Ketiga.
Bahaya kelaparan akan terus mengancam penduduk dunia yang menurut perkiraan
pada tahun 2030 nanti akan dihuni sekitar delapan miliar orang. Hal ini
mengingat bahwa daya dukung lingkungan dalam penyediaan pangan terus
berkurang secara signifikan.
Seperti telah diprediksi oleh 200 ilmuwan dan para ahli dari Program
Lingkungan PBB (UNEP) masalah besar lingkungan 100 tahun ke depan antara
lain terjadinya perubahan iklim, kelangkaan air, penggurunan, polusi air,
erosi tanah, gangguan ekosistem, dan bencana alam .
Rentan
Lalu, seperti apakah peta keadaan pangan Indonesia? Meski tidak sampai
terjadi bencana kelaparan seperti halnya di belahan bumi Afrika bagian
selatan seperti telah penulis uraikan di muka, namun kondisi ketahanan
pangan saat ini sangat rentan. Permasalahan demi permasalahan sepertinya tak
pernah lepas dari kehidupan rumah tangga petani yang menurut Sensus
Pertanian 1993 jumlahnya 21,74 juta rumah tangga atau sekitar 58,37 persen
dari total rumah tangga Indonesia.
Mulai dari membanjirnya bahan pangan impor di pasaran domestik, seperti
beras, kedelai, jagung, daging ayam, kemelut kelangkaan pupuk, hingga
maraknya raw sugar impor saat ini masih menjadi lingkaran setan. Kondisi
terakhir ini jika terus dibiarkan berlarut-larut, sangat besar
kemungkinannya membuat bangkrut agro industri gula yang telah terbangun
ratusan tahun lamanya.
Untuk sekadar diketahui, jika kita minum teh manis atau kopi manis, 40
persen gulanya impor, makan tempe atau tahu, maka lebih dari 50 persen
kedelai yang digunakan untuk membuat tempe/tahu tersebut adalah kedelai
impor.
Perkembangan impor beras menunjukkan angka yang sangat besar meski cenderung
fluktuatif. Pada tahun 1995 impor beras 3 juta ton, 1996 sebesar 1,1 juta
ton, 1997 - 0,41 juta ton, tahun 1998 - 6,1 juta ton, tahun 1999 - 4,2 juta
ton, tahun 2000 sebesar 1,5 juta ton, dan tahun 1001 sebesar 1,3 juta ton.
(Indef, 2002).
Pada tahun 2002 ini Departemen Pertanian AS memprediksikan Indonesia akan
mengimpor beras tidak kurang dari 1,75 juta ton sehingga menempatkannya
sebagai importir beras terbesar di dunia.
Rasio ketergantungan akan bahan pangan impor tersebut sangat membahayakan
ketahanan pangan negara kita di tengah isu lingkungan global seperti saat
ini. Jika terjadi permasalahan lingkungan yang menyebabkan penurunan
produksi pangan seperti halnya peristiwa ekplosi organisme pengganggu
tanaman (OPT) wereng coklat tahun 1986 atau bencana kekeringan karena gejala
alam El Nino pada tahun 1998, boleh jadi kondisi negara kita akan menyusul
seperti di negara Afrika bagian selatan.
Membanjirnya bahan pangan impor seperti beras, kedelai, jagung dan gula,
menciptakan kondisi apatisme yang mendalam pada diri para petani untuk
meningkatkan produksi melalui program intensifikasi pertanian. Hal itu
disebabkan tidak adanya insentif yang memadai bagi usaha mereka.
Jebakan Pangan
Kondisi ini harus segera diakhiri secara politis. Kepentingannya bukan hanya
bertujuan agar negara kita tidak lebih jauh terjerumus dalam jebakan pangan
(food trap) yang lebih parah lagi, namun juga terkait erat dengan komitmen
moral kita mengangkat harkat dan martabat petani dari jurang kemiskinan yang
selama ini akrab dengan dunia mereka.
Untuk membantu nasib petani dan serta menghindarkan negara kita dari jebakan
pangan, ada beberapa hal yang dapat kita upayakan sebagai solusi. Pertama,
pembenahan manajemen impor komoditas pertanian. Kegiatan ini diawali dengan
pembenahan data secara akurat tentang jumlah produksi pangan domestik serta
jumlah kebutuhan riil dalam negeri.
Data akurat ini dapat digunakan untuk melakukan kebijakan impor sesuai
dengan jumlah dan waktu yang tepat, sehingga tidak terjadi lagi impor beras
di saat panen raya disamping itu perlu dilakukan pembenahan peraturan yang
menyangkut impor komoditas pertanian serta pengawasan yang ketat terhadap
peraturan tersebut.
Menurut pengalaman, bagaimanapun bagusnya pera turan selalu saja ada celah
yang dapat dimanfaatkan oleh oknum untuk "bermain". Penerapan Nomor Pengenal
Importir Khusus (NIPIK), serta kelengkapan certificate of origin bagi
komoditas impor seperti kedelai, beras, jagung dan gula yang mulai
diberlakukan tanggal 6 Mei 2002 lalu merupakan langkah tepat.
Ketentuan tersebut dapat meminimalkan praktik-praktik ilegal seperti
penyelundupan dan praktek under invoicing yang dilakukan oleh oknum petugas
Bea dan Cukai.
Kedua, kebijakan proteksi terhadap beberapa produk pertanian yang masih
ditoleransi hingga tahun 2010 oleh WTO, termasuk diantaranya beras dan
kedelai dengan memberikan tarif bea masuk bagi produk impor. Amerika Serikat
sebagai eksportir kedelai terbesar telah memberikan kemudahan bagi importir
kedelai Indonesia melalui GSM 102 dalam penyediaan kredit lunak yang pada
tahun 2001 lalu sebesar 650 juta dolar AS dan direncanakan meningkat menjadi
750 juta dolar AS pada tahun 2002 ini.
Insentif ini sudah barang tentu membuat iklim yang kondusif bagi para
importir kedelai Indonesia.
Kebijakan protektif ini tidak hanya dilakukan oleh negara-negara berkembang,
namun negara maju seperti AS juga masih melakukan proteksi terhadap
komoditas pertanian mereka. Belum lama ini Presiden AS menandatangani Farm
Bill senilai 8 miliar dolar AS untuk memproteksi pertaniannya.
Ketiga, memberikan insentif dan iklim usaha yang kondusif bagi para petani.
Menurut pendapat para ahli, salah satu penyebab terjadinya penurunan
produksi dan luas panen padi dan kedelai akhir-akhir ini adalah karena tidak
adanya insentif harga yang memadai terhadap hasil panen mereka.
Biaya produksi kedelai domestik tidak kurang dari Rp 2.200/kg, sedangkan
kedelai impor dijual seharga Rp 1.950/kg sebagai akibat insentif kredit
lunak yang sangat luar biasa tersebut. Hal ini membuat motivasi untuk
meningkatkan hasil para petani dalam negeri makin pupus. Kondisi ini sangat
membahayakan ketahanan pangan nasional. (18)
- Ir Toto Subandriyo, Kepala Sub Dinas Pertanian Kabupaten Tegal, peserta
Diklat Kepemimpinan Tk III/SPAMA Angkatan I Provinsi Jateng.