[Nasional-m] Cermin Komitmen Rezim Megawati

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 10 Oct 2002 22:37:26 +0200


Jawa Pos
Jumat, 11 Okt 2002

Cermin Komitmen Rezim Megawati
Oleh A.M. Saefuddin *

Temuan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) terhadap
sebagian aset pribadi Jaksa Agung M.A. Rachman yang tidak dilaporkan -rumah
di Graha Cinera, Depok- merupakan sebuah catatan yang memang menggambarkan
indikasi penyalahgunaan jabatan dalam kaitan korupsi atau kolusi.

Persoalannya, prinsip hukum kita -di antaranya, asas praduga tak bersalah-
belum bisa menjadikan catatan atau temuan itu sebagai dasar vonis
kebersalahan Rachman, sebelum pengadilan mengeluarkan keputusan.

Sebagai konsekuensi pencita-cita supremasi hukum, kita memang harus mampu
menghormati reaksi Rachman yang tetap tidak mau mundur dari jabatannya.
Begitu juga, kita dapat memahami mengapa Presiden Megawati - termasuk partai
yang dipimpinnya -tidak mengeluarkan sikap. Misalnya, menurunkan atau
menonaktifkan Rachman. Dalih yuridis itu, meski sangat proporsional,
sebenarnya mengandung titik lemah. Artinya, pertimbangan untuk membuat
keputusan yuridis bukan semata-mata merupakan pertimbangan pasal hukum,
tetapi ada faktor lain seperti moral dan dimensi sosiologis yang juga harus
dipertimbangkan.

Melihat gelagatnya, tampaknya, aspek moral dan sosiologis bakal diabaikan.
Dengan demikian, sikap Rachman akan tetap tak berubah, apalagi presiden
tidak mengambil tindakan. Di mata publik -yang sangat menghendaki kebersihan
praktik KKN-, sikap itu tentu mengecewakan. Namun, ada hikmah besar di balik
reaksi Rachman yang tidak menggubris itu, selain sikap presiden yang
terkesan mendukung sikap jaksa agung tersebut.

Salah satu hikmah yang perlu dicatat adalah publik, terutama level menengah,
perlu menyadari sedalam-dalamnya bahwa rezim saat ini tidak committed
terhadap agenda reformasi yang bertekad membersihkan tindakan KKN. Bahkan,
lebih jauh dari itu: ikut berkomplot dalam meresistensikan KKN.

Kesadaran seperti itu menjadi hal mendasar untuk menentukan sikap
selanjutnya. Yakni, jika publik memang bertekad membersihkan KKN, pemimpin
masa depan harus merupakan sosok yang mampu bersikap tegas terhadap hal-hal
yang berbau KKN.

Konsekuensinya, rezim saat ini -yang secara empiris tidak memperlihatkan
tekad anti-KKN, bahkan terkesan kuat ikut melindungi kejahatan itu- tidak
perlu dilirik lagi, apalagi dipilih kembali. Sikap keberpihakan terhadap
praktik KKN, meski melalui fenomena Rachman, seharusnya menjadi pelajaran
berharga agar tidak jatuh untuk yang kedua atau tidak tergigit lagi pada
lubang yang sama.

Persoalannya, apakah level grass-root memahami perilaku penguasa yang
terlihat jelas tidak committed terhadap fenomena KKN? Sangat diragukan,
apalagi dari barisan "merah" yang -tanpa reserve- cenderung menilai bahwa
seburuk apa pun kinerja Megawati, nilainya tetap positif. Loyalitas seperti
itu harus dijernihkan untuk menyelamatkan bangsa ini ke depan.

Dalam konteks inilah, kesadaran kelas menengah-terdidik, khususnya, harus
mampu mentransformasi pengetahuan dan kesadarannya terhadap publik yang
lebih bawah, yang jauh lebih besar jumlahnya.

Tujuannya adalah membangun kesadaran objektif, sehingga mampu melihat dengan
jernih bagaimana sikap penguasa saat ini yang jelas-jelas merugikan publik.
Dari tujuan itu, publik lapis bawah diharapkan mampu menentukan sikap atau
keputusan yang tepat dalam memilih pemimpinnya, bahkan juga partainya.

Pilihan partai yang tepat -yang tentu bermakna keberpihakan jelas dalam
menindak praktik KKN- menjadi krusial sejalan dengan peran partai yang juga
ikut menentukan, selain faktor pemimpin nasionalnya.

Sejauh ini, partai sering dijadikan "baju" untuk membungkus tindakan
kamuflase sejumlah elitenya. Karena itu, partai-partai yang saat ini
terlihat atau terkesan menutup-nutupi praktik KKN dalam bentuk apa pun juga
selayaknya harus ditinggalkan.

Para loyalis harus menyampaikan sayonara dan tega karena kecintaannya tidak
dibalas dengan komitmen dan tindakan yang menguntungkan publik luas. Sikap
ini perlu diperkuat sejalan dengan adanya tokoh atau partai lain yang
dinilai jauh lebih memenuhi harapan publik, meski saat ini masih belum
menjadi eksekutor.

Terlepas dari catatan faktual tentang ketidakjelasan bahkan terkesan
melindungi seseorang yang diduga kuat menyalahgunakan jabatan untuk
memperkaya diri dan hal itu tentu sungguh mengecewakan, namun di dalamnya
ada hikmah besar.

Sekarang, bagaimana menerjemahkan hikmah besar itu agar menjadi sikap
politik dalam kerangka membangun konstruksi sistem politik, ekonomi, hukum,
dan budaya yang jauh lebih baik?
* Dr A.M. Saefuddin, anggota Komisi VI DPR RI