[Nasional-m] Puncak Krisis Ketenagakerjaan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 10 Oct 2002 23:05:02 +0200


Suara Karya

Puncak Krisis Ketenagakerjaan
Oleh H Bomer Pasaribu

Jumat, 11 Oktober 2002
Sejak Indonesia Merdeka, masalah ketenagakerjaan secara terus menerus telah
menjadi problem berkepanjangan. Ini disebabkan oleh ketidakmampuan ekonomi
untuk menyerap tenaga kerja yang cukup besar jumlahnya dan meningkat relatif
cukup tinggi setiap tahunnyya (Labour Surplus Economy). Walaupun dengan
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (bahkan disebut sebagai salah satu
negara yang mengalami "miracle economy" sampai tahun 1996, dengan
pertumbuhan ekonomi rata-rata 7,5 dari tahun 1970-1996), kondisi
ketenagakerjaan (Employment Crisis) semakin nyata. Ini semua disebabkan
belum pernah adanya model politik ekonomi yang bertumpu pada optimalisasi
human capital khususnya kesempatan kerja (Employment based Economy).
Krisis ketenagakerjaan ini semakin diperburuk lagi oleh krisis moneter tahun
1997. Krisis moneter tersebut telah mengakibatkan terpuruknya perekonomian
Indonesia dalam kurun waktu 1997-1999. Krisis moneter tersebut meluas
menjadi multi krisis yang mencakup krisis ekonomi, politik, keamanan,
pemerintahan, hukum, kepercayaan, sosial, bahkan krisis moral (moral hazard)
sehingga good governance makin jauh, yang secara keseluruhan menurunkan dan
memperparah krisis ketenagakerjaan.
Pertumbuhan ekonomi menurun drastis dari 7,28 % tahun 1996 menjadi 4,70 %
pada tahun 1997, kemudian -13,20 % pada tahun 1998, dan 0,23 % pada tahun
1999. Penurunan pertumbuhan ekonomi tersebut secara nyata telah menyebabkan
merosotnya permintaan aggregat dan kelesuan pasar, yang selanjutnya
menimbulkan banyak perusahaan terpaksa menutup atau menciutkan kegiatan
usahanya. Disamping itu, daya tarik di dunia investasi juga berkurang
sebagai akibat krisis kepercayaan para pengusaha terhadap keberhasilan
pemerintah mengatasi kasus-kasus konflik dan keamanan di berbagai wilayah,
seperti di Aceh, Maluku, Irian Jaya, dan terakhir sekali di Kalimantan
Barat. Tidak dapat dipungkiri bahwa akumulasi krisis ketenagakerjaan
merupakan turunan pertama dampak krisis ekonomi serta krisis social capital.
Krisis ketenagakerjaan ini selanjutnya telah menurunkan pendapat masyarakat
dan sudah barang tentu mengakibatkan penurunan kualitas pembangunan manusia
serta peningkatan kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan laporan dari PBB
untuk program pembangunan (UNDP Report tahun 1997 dan tahun 2000), krisis
ekonomi di Indonesia telah mengakibatkan penurunan ranking indeks
pembangunan manusia (Humas Development Index) Indonesia dari urutan 99 pada
tahun 1994 menjadi urutan 109 pada tahun 1998; serta penurunan ranking
indeks kemiskinan manusia (Human Poverty Index) dari urutan 23 pada tahun
1994 menjadi urutan 46 pada tahun 1998.
Data hasil Susenas yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) juga
menunjukkan peningkatan penduduk miskin di Indonesia dari 34,5 juta pada
tahun 1996 menjadi 37,5 juta orang pada tahun 1999. Bahkan menurut Bank
Dunia berdasarkan ukuran baru International Poverty Line (IPL) USD 2,00 per
hari jumlah kemiskinan mencapai 60 % atau 120 juta (2001) termasuk 10-20 %
miskin ekstrim. Angka kemiskinan di Indonesia tidak hanya meningkat secara
nasional tetapi juga semakin timpang antar provinsi khususnya
wilayah-wilayah provinsi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur
Indonesia (KTI). Adanya krisis ketenagakerjaan yang semakin serius akan
menyebabkan keterpurukan masyarakat Indonesia di masa yang akan datang yang
dapat membuat bangsa Indonesia makin terbelakang dibanding bangsa-bangsa
lainnya. Lebih parah lagi, krisis ketenagakerjaan ini dapat mengakibatkan
krisis sosial, seperti meningkatnya jumlah kematian khususnya kematian bayi,
meningkatnya kriminalitas, penggunaan narkoba, depresi, bunuh diri,
perceraian, dan masalah-masalah demoralisasi lainnya.
Penanganan krisis ketenagakerjaan dan kemiskinan yang sudah sampai pada
tahapan "lampu merah" mutlak diberikan prioritas tertinggi melalui reformasi
politik ekonomi makro dan mikro serta reformasi politik ketenagakerjaan ke
depan yang dihimpun pada "employment based economy". Untuk itu, "Center for
Labour and Development Studies Jakarta" mengusulkan suatu reformasi besar
(big bang reform) berupa Grand Strategy (pendekatan yang komprehensif
integralistik) yang bertumpu pada kegiatan-kegiatan ekonomi basis penggunaan
tenaga kerja/kesempatan kerja produktif (employment based economy) menggeser
pendekatan "Neoliberalis" seperti selama ini.
"Tahun Penjara?"


Dalam tahun 2002-2004, suasana "Pemerintah Keranjang Sampah" (istilah
Presiden Megawati sendiri) akan menghadapi siklus lingkaran setan krisis,
terkait dalam perspektif ekonomi politik yang akan memasuki siklus ekonomi
baru 2004. Tahun yang relatif paling memungkinkan didayagunakan secara
optimal hanyalah tahun 2002 ini dan kuartal pertama tahun 2003. Tahun 2003
selanjutnya akan mulai memanas karena pertarungan politik menjelang Pemilu
sistem baru. Sedangkan tahun 2004 pelaksanaan pemilihan umum serta
penyusunan dan pertarungan lembaga-lembaga politik termasuk pemilihan
langsung Presiden dan Wakil Presiden. Perebutan jabatan dalam kabinet baru,
pertarungan elite politik DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan
gabungannya di MPR, dan lain-lain akan membutuhkan pengurasan sumber daya
dan energi dan biaya sangat mahal. Sehingga, sumber daya, energi dan biaya
yang seharusnya difokuskan bagi pemulihan ekonomi akan terkurang kedalam
biaya pertarungan politik yang keras.
CLDS memperkirakan tahun 2002-2004 bila tidak ada kekompakan, "rekonsiliasi
nasional" konsistensi kebijakan reformasi dan tidak terfokus pada pemulihan
krisis, maka "Pemerintah Keranjang Sampah" akan menghadapi lingkaran setan
krisis, "terpenjara" oleh berbagai perangkap, antara lain:

1. Perangkap Krisis Pengangguran Permanen (Unemployment Trap
   Crisis).
 Diperkirakan tingkat total pengangguran akan terus mem
   bengkak bertambah satu setengah sampai dua juta pertahun
   sehingga bisa berpuncak pada ledakan sosial.
2. Perangkap Krisis Kemiskinan Permanen (Poverty Trap Cri-
   sis).
 Diperkirakan akan semakin berat, selain karena mening
   katnya tingkat pengangguran dan angka putus sekolah juga
   akibat dari terjadinya bencana La Nina (kebanjiran) 2002
   dan El Nino (kekeringan) 2003 yang bisa menimbulkan
   krisis pangan.
3. Perangkap Hutang dalam dan luar negeri (Debt Trap Crisis).
 Baik hutang pemerintah dan swasta yang berjumlah sekitar
   Rp 2,3 triliun. Krisis hutang ini menimbulkan krisis
   fiskal yang semakin berat dalam bentuk besarnya beban
   pembayaran cicilan dan hutang pokok. Hutang Pemerintah
   dalam dan luar negeri sebesar US $ 141 miliar, Swasta
   dalam dan luar negeri US $ 85 miliar (jumlah US $ 226
   miliar).
4. Perangkap resiko investasi dan ekonomi yang cenderung me-
   ningkat (Country Risk).

Country Risk karena suasana ketidakpastian, kerusakan dalam supremasi hukum,
keamanan, semakin merajalelanya pertarungan politik, tidak terfokusnya
pelaksanaan agenda reformasi. Termasuk kegagalan dan berakhirnya eksistensi
BPPN tahun 2004 dengan prestasi terburuk di dunia. BPPN akan mewariskan
terbengkalainya penuntasan program rekapitalisasi dan restrukturisasi,
hutang-hutang konglomerat, dan kegagalan kebijakan mikro ekonomi lainnya dan
hilangnya kepercayaan pasar (market confidence), mewariskan bom waktu dan
lingkar setan krisis.
,font size=2>
5. Perangkap KKN baru (New Crony, Corruption and Colutionism
   trap crisis).

Jika zaman Soeharto, Indonesia menduduki urutan ke 8 negara terkorup di
dunia (1996). Pada era reformasi meledak menjadi urutan ke-4 (2001). CLDS
mengobservasi di tengah retorika pemberantasan justru KKN makin merajalela
sehingga diperkirakan melejit ke urutan ke 2 atau ke 3 pada 2003 dan 2004
akan bisa menimbulkan huru-hara sosial apalagi akan bersinggungan dengan
pertarungan politik menjelang dan pada saat Pemilu 2004.
Bekerja adalah hak dasar yang paling asasi sekaligus merupakan bagian dari
harkat martabat manusia. CLDS memperikirakan total pengangguran yang terdiri
dari pengangguran resmi (open unemployment), pencari kerja (job seekers),
dan setengah pengangguran (under employment) yang pada tahun 2001
diperkirakan berjumlah 40,2 juta akan terus membengkak pada 2002 s/d 2004.
Diperberat karena semakin meningkatnya angka putus sekolah menjadi sekitar
1,7 juta per tahun (naik 32 %) dimana 53 % di antaranya akan memasuki pasar
karena, dan timbulnya bencana kebanjiran dan kekeringan (La Nina dan El
Nino).

* * *
Untuk itu CLDS sekali lagi mengusulkan agar pemerintah segera secara
terfokus terukur, dan terjadual melaksanakan reformasi besar (big bang
reform) berpihak kepada rakyat banyak. Terutama tidak lagi secara membabi
buta mengikuti pendekatan "neo liberalism" melainkan perlu dikombinasikan
dengan pendekatan "Institutional economy", dimana peranan ekonomi politik
pemerintah dan pasar secara sinergik dan berpihak rakyat diprogramkan dan
diimplementasikan secara pasti termasuk affimative action. Kiranya dengan
cara seperti ini apa yang diperintahkan oleh GBHN dan Tap MPR sebagai
"Ekonomi Kerakyatan" bertumpu "Ekonomi Pasar Berkeadilan" dapat secara
bertahap diwujudkan dan diimplementasikan secara konkret, bukan hanya
slogan.
Krisis ketenagakerjaan (unemployment) khususnya pengangguran dan kemiskinan
akan benar-benar berada pada suasana lampu merah dan tanpa pelaksanaan
agenda penanganan yang berhasil, akan bisa menimbulkan ledakan sosial
apalagi akan kesinggungan dengan pertarungan politik menjelang dan pada saat
Pemilu 2004. Bekerja adalah hak dasar yang paling asasi sekaligus merupakan
bagian dari harkat martabat manusia, CLDS memperkirakan total pengangguran
yang terdiri dari pengangguran resmi (open unemployment) yang pada tahun
2001 diperkirakan berjumlah 40,2 juta akan terus membengkak pada 2002 s/d
2004. Diperberat karena semakin meningkatnya angka putus sekolah menjadi
sekitar 1,7 juta per tahun (naik 32 %) dimana 53 % diantaranya akan memasuki
pasar kerja, dan timbulnya bencana kebanjiran dan kekeringan (La Nina & El
Nino).
Dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi 3,3 % (2002), 3,0 % (2003) dan 3,0 %
(2004). CLDS memperkirakan total pengangguran akan menjadi 40,1 % atau 42
juta (2002), 41,2 % atau 43,6 juta (2003) dan 42,5 % atau 45,2 juta (2004).
Lebih memprihatinkan lagi, diperkirakan terdapat pembengkakan pengangguran
terdidik lulusan perguruan tinggi sebanyak 1,830 juta (34 %) 2001, 1,199
juta (35,1 %) dan 2,500 juta (37%), masing-masing tahun 2003, 2004.
Untuk itu "big bang reform" menuju kesempatan kerja penuh (full employment)
perlu dijadikan program permanen oleh setiap Kabinet Pemerintah sebagaimana
misalnya setiap pemerintah Australia memprogramkannya secara permanen sejak
1945 dengan apa yang terkenal sebagai "White Paper" 1945. Perobahan besar
terhadap pendekatan tunggal selama ini dengan kebijakan regim ortodoks
Neo-clasics, Neo-Liberalsm yang berkecenderungan menekankan upah
serendah-rendahnya sebagai keunggulan komperatif, austerity policies,
menekankan supply side dan bukan demand side dll pada hakekatnya menjadikan
kesempatan kerja hanya sekadar hasil akhir atau sampingan dari pertumbuhan
ekonomi, terbukti telah gagal dalam mengatasi krisis ketenagakerjaan dan
pengangguran. Terbukti pada saat Bank Dunia memuji-muji Indonesia sebagai
salah satu keajaiban ekonomi dunia (miracle economy) sampai dengan 1990-an
justru pada saat yang sama krisis pengangguran terus semakin membengkak di
mana kaum pekerja terus menerus dimarginalisasi.
Kesalahan besar selama ini hingga pemerintahan sekarang adalah tidak pernah
menghitung betapa luar biasa besarnya biaya pengangguran (cost of
unemployment), tidak hanya biaya ekonomi tetapi juga sosial dan politik yang
mempraktekan sendi ekonomi dan memperparah krisis. Kebijakkan Neo-Liberalis
seperti itu sudah harus segera direformasi dengan pendekatan baru reformasi
politik ketenagakerjaan terfokus pada kesempatan kerja penuh (full
employment), berbasis Institutional Economy dan Keynesian disinergi dengan
Sistem Ekonomi Kerakyatan bertumpu Ekonomi Pasar Berkeadilan. Kebijakan ini
lebih bertumpu pada aspek demand side, aggregative demand, menjadikan
kesempatan kerja melekat sebagai bagian penting dari setiap mata rantai
kebijakan dan pelaksanaan kegiatan ekonomi, bukan sebagai hasil akhir atau
sampingan (employment based economy). Diujudkan dalam berbagai bentuk
program langsung atau tidak langsung seperti reformasi pasar kerja aktif,
berbasis sumber daya (resource based), masyarakat luas (commynity based) dan
berfokus kepada ramah pasar (market friendly) dan berkesinambungan
(sustainable).
Selanjutnya diturunkan menjadi program operasional seperti reformasi pasar
kredit dengan membangun kredit mikro perkotaan dan pedesaan seperti model
Graemen bank yang telah sukses di 22 negara; Reformasi pasar lahan (land
market reform) semacam implementasi land reform; juga "aqua reform" untuk
menjadi "lahan" perairan dan lautan bagi nelayan pemberian saham bagi
pekerja perusahaan (employee share ownership program-ESOP) untuk menjamin
kesetiaan dan peningkatan produktivitas pekerja pada perusahaan yang telah
juga menjadi miliknya melalui ESOP. Sedangkan reformasi lainnya mencakup
kebijakan investasi dan teknologi berbasis ketenagakerjaan (employment based
investment and technology). Kebijakan Employment based-economy ini telah
sukses di RRC sehingga tingkat penganggurannya termasuk terkecil di dunia
hanya 3.1 % (1997) dan berhasil menguasai pasar dunia dari produk-produk
usaha rakyat. ***
(DR H Bomer Pasaribu SH SE MS adalah mantan Menteri Tenaga Kerja).