[Nasional-m] Memahami Manusia Indonesia

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Oct 3 00:12:02 2002


Suara Karya

Memahami Manusia Indonesia
Oleh Thomas Koten

Kamis, 3 Oktober 2002
Tatkala virus krisis dahsyat menerjang bangsa ini, berbagai macam konflik
dan persoalan pun terus-menerus bermunculan, tanpa henti. Masyarakat bangsa
kita yang jauh sebelumnya dikatakan sebagai masyarakat yang ramah, sopan,
murah senyum, tiba-tiba saja menjadi beringas, mudah mengamuk dan liar,
seperti rumput kering yang mudah terbakar oleh isu sederhana apa pun.
Ini bukan hanya terjadi di kalangan akar rumput yang boleh dikatakan labil,
tetapi juga terjadi di kalangan kelas menengah atas, tidak kecuali
oknum-oknum di TNI dan Polri. Bukan hanya itu, korupsi dan segala jenis
"perselingkuhan" yang sebelumnya hanya terdengar sayup-sayup lewat
bisik-bisik yang tiris di sana-sini, kini seolah semuanya berlangsung
demikian telanjang tanpa malu-malu.
Perilaku amoral, memang merembet di setiap aspek kehidupan masyarakat.
Masyarakat kita seolah kini baru menunjukkan siapakah manusia Indonesia itu
sebenarnya dan bagaimana sikap aslinya. Maka, muncullah
pertanyaan-pertanyaan yang menukik dan dapat dirunut di sini.
Apakah manusia Indonesia itu seperti "binatang" karena saling "memangsa",
"menerjang" dan saling "mematikan" antarsesamanya? Lihat saja, hingga saat
ini masih juga ada manusia yang mati secara mengenaskan, dihajar lalu
dibakar hidup-hidup atau setelah mati. Apakah manusia Indonesia itu korup,
karena korupsi sudah membudaya di negeri ini dan dalam penilaian
Transparency Internasional (2002), Indonesia termasuk "juara" korupsi di
dunia? Apakah manusia Indonesia itu bodoh, karena meski krisis sudah
berjalan 5 tahun, tetapi belum tahu juga jalan keluar penyelesaiannya?
Pertanyaan khusus yang menyangkut pokok tulisan ini, yakni bagaimana dapat
memahami manusia Indonesia?
Sebenarnya sulit menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, khususnya
pertanyaan terakhir. Sebab, harus dikatakan, belum ada suatu metode
psikologis untuk meneliti pokok penting itu. Sebuah jalan tengah pendekatan
sederhana untuk tulisan singkat ini adalah deskripsi intuitif dari ahli
kebudayaan, ahli filsafat dan ahli-ahli ilmu sosial lainnya.
* * *


MAW Brouwer dalam sebuah tulisannya pernah mengatakan, manusia Indonsia itu
ada, bila ada sebuah bangsa yang disebut bangsa Indonesia. Dilihat dari
sudut politik, bangsa Indonesia itu ada, tetapi manusia Indonesia - dengan
ciri dan watak khusus - hanya mungkin kalau ada bangsa sebagai kelompok
kebudayaan, dengan adat istiadat khusus. Hanya berdasarkan pada pengalaman
perjalanan sejarah yang agak lama (common fate) dan perasaan nasionalisme
"cinta persatuan dan kesatuan", bisa muncul gejala psikologis (kultural),
yaitu watak manusia Indonesia. Meskipun demikian, bukan berarti bangsa
Indonesia belum memiliki kepribadian sebagai manusia Indonesia yang memiliki
identitas khusus.
Menurut seorang ahli kebudayaan Jan Romein, watak dan kebudayaan berkembang
berdasar pengalaman (common fate) dalam sejarah bangsa. Atau, watak bangsa
berkembang berhubungan dengan sejarah yang dilaluinya. Hal yang sama juga
diucapkan oleh seorang filsuf keturunan Yahudi, Ernts Cassirer, bahwa bangsa
tidak terlepas dari pengalaman kehidupan masyarakat bangsanya. Aktivitas
masyarakat bangsa dalam perkembangan sejarahnya berhubungan erat dengan
bertumbuh dan berkembangnya negara-bangsa.
Tetapi, bagaimana kita dapat memahami semua itu? Denis Blood Worth, dalam
bukunya, An Eye for The Dragon, yang secara khusus meneliti watak orang Asia
Tenggara berhubungan dengan sejarahnya, mengatakan, meski ada persoalan
untuk Indonesia, karena tidak ada alur sejarah khusus untuk dirunut, namun
dapat dikatakan, sejarah Sriwijaya, Majapahit, Mataram, zaman penjajahan,
dan zaman revolusi, dapat dijadikan pijakan. Jejak sejarah-sejarah itu
sebagian dapat menghasilkan sejumlah sifat dan watak bagi bangsa Indonesia
secara umum. Hanya barangkali ini perlu didiskusikan secara khusus dengan
telaah yang lebih khusus pula.
Sedangkan, Indonesianis sekaligus antropolog asal Amerika Serikat, Clifford
Geertz dalam bukunya, Culture and Politics in Indonesia, mengakui betapa
sulitnya memahami manusia Indonesia super majemuk yang menghuni seribu satu
pulau ini, hingga menemukan suatu sejarah peradaban bangsa yang disebut
bangsa Indonesia itu. Kesulitannya adalah bagaimana memahami manusia
Indonesia lewat pemetaan panorama perjalanan sejarah yang penuh konflik
berdarah, dari zaman kerajaan-kerajaan yang bertebaran di seluruh Nusantara:
dari zaman Indonesia 1945, zaman revolusi, Demokrasi Parlementer, perang
sipil, peristiwa 1965; hegemoni militer hingga era krisis berkepanjangan
saat ini.
Semuanya itulah yang kini membentuk watak atau kepribadian manusia
Indonesia? Apa pun jawabannya, yang jelas, "manusia Indonesia" yang kini
gemar korupsi, yang kadang-kadang gampang marah dan mudah mengamuk ala
preman, tidak serta-merta muncul begitu saja. Tentu ada sejarah peradaban
bangsa yang membentuknya. Misalnya, korupsi yang terjadi di negeri ini, yang
sebenarnya merupakan peristiwa-perilaku yang terjadi dan berkembang secara
mengerikan dan mengakar sejak masa kerajaan-kerajaan Nusantara, khususnya
sesudah Mpu Sindok (948), lalu saat keruntuhan zaman Majapahit pada abad
ke-16, dan diteruskan pada era Mataram.
Munculnya VOC (1602-1799), ikut melestarikan korupsi lewat perusahaan
perdagangan dengan politik dagang sapi dimana untuk menjadi pegawai VOC
harus pandai menyogok. Dan di zaman kemerdekaan hingga kini, dapat kita
saksikan sendiri, korupsi bukan mengalami kemunduran, melainkan berkembang
secara amat canggih di semua lini kehidupan masyarakat bangsa. Gencarnya
kita meneriaki korupsi yang terjadi di era Orde Baru, ternyata di era
Reformasi ini kita semakin ramai pula berkorupsi ria. Demikian pun dalam hal
pelanggaran HAM, yang mana pembunuhan manusia bukan saja terjadi pada saat
perang sipil atau perang militer, melainkan juga dalam kehidupan sehari-hari
dalam berbagai macam bentuk kejahatan yang sangat canggih, dan kekerasan
serta tawuran yang mengenaskan.
* * *


Itulah realitas manusia Indonesia sekarang ini, sebagaimana dipahami, telah
melewati dan mengalami masa-masa kelam yang panjang, yang di dalamnya
manusia tidak pernah menemukan ruang bagi aktualisasi kemanusiaannya.
Manusia Indonesia hidup dalam berbagai sistem "ketidakmanusiawian" (inhuman
system). Atau, sejarah negara dan bangsa Indonesia- yang dalam gambaran
Yasraf Amir Piliang (2001), selalu diliputi kegelapan kemanusiaan yang
secara silih berganti membentuk dunia, "realitas kelam manusia". Manusia dan
kemanusiaan hanyalah kata-kata indah dalam ucapan, retorika, dan ideologi,
tetapi gelap-kelam dalam realitas. Berbagai bentuk "realitas" (inhuman
realities) telah mewarnai sejarah dalam tubuh bangsa ini, sejak zaman
penjajahan, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
Dalam rentangan situasi dan lilitan sistem itulah yang telah membentuk watak
manusia Indonesia yang dapat dipahami sekarang ini? Apakah kebobrokan moral
dan bangkitnya perilaku etis yang menjalar pada seluruh lapisan masyarakat,
khususnya para pemimpin di tingkat elite negeri, merupakan hasil bentukan
sejarah bangsa yang telah berlangsung lama itu?
Menurut J de Finance, dalam An Ethical Inquiry (1991), etika dan moralitas
berkaitan dengan watak. Watak seseorang membuat orang itu pribadi, dan watak
bangsa membentuk kepribadian bangsa. Maka, muncullah persoalan serius kita,
apakah watak kepribadian bangsa kita dapat digeneralisasikan begitu jelek
sebagaimana terlihat dalam jejak sejarah perkembangan selama ini, atau
seperti yang termaktub dalam pertanyaan- pertanyaan pada bagian awal tulisan
ini?
Kita tentu tidak menginginkan Republik ini dihuni oleh manusia-manusia
Indonesia berwatak egois - selfish atau homo homini lupus - versi Hobbes
bahwa yang kuat memakan yang lemah demi kepentingan hasrat dan kehendak
kekuasaannya, lalu mengeksploitasi sesamanya, atau manusia terus dijadikan
komoditi (man of commodity) seperti dilukiskan Marx, yaitu manusia-manusia
yang dieksploitasi tenaga, tubuh dan keterampilan demi kepentingan ekonomi
dan politik.
Untuk itu, muncul semacam solusi singkat-sederhana, yaitu hendaknya perlu
segera ditanamkan dan dimekarkan segala sesuatu yang bernilai positif bagi
perkembangan watak dan kepribadian bangsa, seperti nilai-nilai agama, etika,
moral, budi pekerti dan sebagainya. Dan, itu menjadi tugas penting yang
harus diagendakan dalam rangka menciptakan sebuah masyarakat masa depan
Indonesia baru yang berkeradaban kemanusiaan yang sesungguhnya manusia. ***
(Penulis adalah Direktur The Justice Advocates Indonesia).