[Nasional-m] Akhir dari Ideologi dan Partai Komunis Cina

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon, 25 Nov 2002 23:27:05 +0100


http://www.sinarharapan.co.id/berita/0211/25/opi01.html

Akhir dari Ideologi dan Partai Komunis Cina
Oleh A. Dahana

Kongres ke-16 Partai Komunis Cina (PKC) baru saja selesai. Salah satu
keputusannya yang bersejarah adalah bergantinya barisan pemimpin negeri itu.
Generasi pimpinan ketiga yang dikomandoi Sekretaris Jenderal Jiang Zemin
telah menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada generasi keempat pimpinan Hu
Jintao. Turut turun panggung adalah Zhu Rongji dan Li Peng, dua pemimpin
teras yang bersama Jiang duduk dalam Politbiro—organ paling berkuasa.
Rencananya, pada masa sidang Kongres Rakyat Nasional (KRN) bulan April tahun
depan, ketiga orang itu juga harus melepaskan kedudukan mereka dalam
pemerintahan. Hu Jintao juga akan menggantikan Jiang dalam kedudukan sebagai
presiden, sedangkan posisi Zhu Rongji sebagai perdana menteri akan
diwariskan kepada Wen Jiabao. Sedangkan siapa yang akan menggantikan Ketua
KRN Li Peng belum jelas. Konon, penerus kepemimpinan Li Peng dalam KRN
adalah orang she Li lainnya yaitu Li Ruihuan. Hanya saja, konon juga, Jiang
kurang begitu sreg karena ia dianggap kelewat ”liberal.”
Tapi, lupakan dulu siapa turun dan siapa yang menggantikan, lantaran
pertanyaan yang lebih pokok adalah soal apa yang akan terjadi atas PKC
setelah para pemimpin ”generasi ketiga” ini lengser. Soal itu ada
hubungannya dengan penerimaan Kongres untuk menempatkan teori ”Tiga
Representasi” (Sange Daibiao) ke dalam konstitusi PKC. Ia akan berdampingan
bersama Marxisme-Leninisme-Pikiran Mao dan Pemikiran Deng Xiaoping.
Tiga Representasi merupakan buah pikiran Jiang yang pada dasarnya mengakhiri
peran ideologi, akan tetapi juga untuk mengekalkan posisi PKC sebagai
pemegang hegemoni kekuasaan di Cina. Atas dasar pikiran baru ini partai
tidak hanya mewakili kepentingan buruh, tani, prajurit dan borjuis kecil
saja, akan tetapi juga mewakili kepentingan kelas ekonomi baru (baca para
kapitalis, golongan entrepreneur dan borjuis besar) yang muncul sebagai
hasil reformasi ekonomi Deng Xiaoping. Prinsip baru itu diterangkan dengan
kalimat bahwa PKC mewakili ”kekuatan produksi maju, budaya maju, dan
kepentingan dasar semua orang.”
Dilihat dari segi pergulatan kekuatan di kalangan elite Cina, dimasukkannnya
Tiga Representasi menunjukkan usaha Jiang untuk mengikuti jejak Deng
Xiaoping: menanamkan pengaruh dengan bermain di belakang layar walaupun
sudah tidak lagi memegang posisi resmi. Jadi, walaupun secara resmi Hu akan
menjadi pengatur kebijakan, di belakangnya selalu hadir Jiang yang akan
mengawasinya. Apalagi dari sembilan orang yang duduk dalam Politbiro, tidak
kurang dari tujuh punya hubungan khusus dengan Jiang, Li Peng, dan Zhu.
Dilihat dari posisi partai teori baru ciptaan Jiang itu tidak lain dari
upaya untuk mengekalkan posisi sebagai penguasa tunggal kekuasaan politik di
tengah masyarakat Cina yang tengah berubah drastis. Itu juga dapat
digambarkan sebagai ambisi untuk mempertahankan relevansinya di tengah
perubahan yang sangat cepat sejak reformasi ekonomi diperkenalkan Deng
Xiaoping pada awal 1980an. Dengan kata lain PKC ingin menjadi ”ayah angkat”
atau ”paman” dari semua orang (lihat S.P Seth, The Jakarta Post, 23 Oktober
2002).
Isu yang berkenaan dengan pertanyaan apakah PKC masih relevan dengan
masyarakat Cina masa kini sebenarnya sudah muncul sejak reformasi ekonomi
diluncurkan. Dulu khususnya selama Mao Zedong berkuasa partai tidak lain
dari ayah dari semua orang. Dengan cara menguasai hajat hidup rakyat banyak,
terutama sandang, pangan, dan papan, partai-lah yang memberi pendidikan,
pekerjaan, perumahan, mementukan kapan boleh dan dengan siapa nikah, kapan
boleh punya anak dan berapa jumlah anak, dan lain-lain.
Dengan kata lain kekuasaan negara begitu kuat sehingga mampu menembus ke
masalah-masalah yang sangat pribadi. Sebagai akibatnya semua orang
menggantungkan nasib dan hidupnya pada kemurahan hati dan kebaikan partai.
Itulah sistem yang namanya totaliter.
Keadaan itu berubah dengan adanya reformasi ekonomi yang membolehkan
masuknya modal asing dan mengizinkan usaha swasta. Dan perubahan itu
berlangsung dengan cepat. Sejak itu orang berlomba mengejar materi dan pada
waktu yang bersamaan ketergantungan massa terhadap partai makin lama makin
kendur. Dalam dasawarsa 1980-an terjadilah tarik-menarik antara massa dengan
partai karena sebagian orang merasa partai tidak lagi relevan dengan
kehidupan mereka.
Itulah masa ketika bibit-bibit untuk tuntutan hak-hak demokrasi makin kuat.
Itulah juga masa ketika muncul tuntutan untuk adanya modernisasi kelima atau
hak demokrasi, di samping slogan Empat Modernisasi yang menjadi pegangan
partai yang harus diikuti semua orang. Tarik-menarik itulah yang membawa ke
pembantaian Tiananmen pada awal Juni 1989.
Setelah tragedi Tiananmen keraguan masa atas relevansi partai dengan
kehidupan itu makin menjadi. Itu didasarkan pada asumsi bahwa kesenjangan
antara massa dengan partai tidak lagi dapat dijembatani, karena partai telah
berubah menjadi ayah yang membantai anak-anaknya sendiri. Pendapat ini
diajukan oleh Jurgen Domes, sinolog Jerman. Ahli lain, Ramon Myers
memprediksi bahwa partai akan terpecahbelah karena tidak ada ideologi
pemersatu dan absennya pemimpin sekaliber Mao dan Deng. Sebuah partai
Leninis, kata Myers memerlukan seorang pemimpin yang kharismatis.
Sekitar 13 tahun berlalu sejak pecahnya peristiwa Tiananmen, namun tidak
kelihatan tanda-tanda bahwa PKC akan runtuh. Malahan ia telah berhasil
membawa Cina menjadi sebuah negara modern, tentu saja dengan segala faktor
positif dan negatifnya. Bahkan boleh dikatakan dukungan terhadapnya makin
bertambah kuat. Itu berkat kebijakan PKC yang terus-menerus memberikan
keleluasaan kepada pubik untuk mengejar keuntungan materi
sebanyak-banyaknya. Setiap orang boleh berbuat apa saja di bidang ekonomi,
asal tidak menuntut hak-hak politik, menggugat dominasi politik partai, dan
mempertanyakan hak-hak istimewa para elite partai.

Namun, tidak urung partai selalu merasa dirinya terancam dan lebih sering
sikapnya sangat paranoid. Ia sangat curiga dan mengambil tindakan tangan
besi terhadap setiap langkah siapapun yang dianggap menyebal dari pakem
politik yang telah ditentukannya dan kekuatan apa saja yang dianggap mampu
menjadi saingan.
Tidak sedikit orang dan golongan yang menjadi korban dari sikap itu. Contoh
paling segar adalah perkumpulan Fa Lungong. Kelompok yang hanya mengajarkan
hidup baik dengan berolahraga dan bersemadi itu ditindak lantaran telah
menjadi magnet yang mampu menghimpun massa besar. Dengan demikian ia
memiliki potensi untuk menjadi saingan bagi partai. Karenanya ia harus
dilindas. Selama itu partai dianggap sebagai penindas dan diam-diam gerakan
demokrasi bersemi lagi terutama di kalangan intelektual dan mahasiswa.
Namun, menjelang akhir dasawarsa 1990-an partai kelihatannya mendapat
dukungan yang cukup kuat dari kalangan yang tadinya menjauhinya. Gejala ini
disebabkan, pertama kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya kekacauan yang
dapat menyebabkan anarki. Cina berkaca pada rontoknya rezim-rezim yang
menamakan dirinya sosialis di Eropa Timur yang mencapai puncaknya dengan
bubarnya Uni Soviet. Penyebab kedua, adalah ketertarikan kaum intelektual
atas teori neo-otoritarianisme.
Sebenarnya neo-otoritarianisme bukan barang baru bagi di Cina. Ia telah
terlebih dahulu diperkenalkan oleh Zhao Ziyang dan kawan-kawan pada
pertengahan 1980-an. Ajaran ini berpendapat bahwa sebuah pemerintah yang
kuat harus diciptakan untuk melaksanakan pembangunan ekonomi demi
terciptanya suatu masyarakat kelas menengah. Apabila suatu kelas menengah
itu telah tercipta pemerintah-lah yang akan membimbing dan mendidik massa
untuk maju ke sistem demokrasi.
Politik di Cina makin ke kanan lagi dengan timbulnya kembali nasionalisme.
Gelombang baru nasionalisme itu muncul sehubungan dengan terjadinya insiden
di Yugoslavia ketika pesawat-pesawat NATO (baca Amerika) salah sasaran dan
menjatuhkan bom yang melantakkan gedung kedutaan besar Cina di Beograd.
Selama sepekan di Beijing terjadi demo besar yang dilancarkan oleh mahasiswa
untuk memprotes pemboman itu dan muncul tuduhan insiden itu disengaja untuk
melecehkan Cina. Ketakutan akan kekacauan apabila pemerintah/partai tidak
berfungsi, jatuhnya rezim-rezim otoriter di Eropa Timur, ditambah dengan
insiden salah bom itulah yang memunculkan neo-konservatisme di kalangan
elite Cina.
Barangkali rangkaian kejadian sejak 1989 itulah yang membawa terciptanya
teori Jiang yang bernama Tiga Representasi itu. Tapi, dimasukkannya Tiga
Representasi ke dalam konstitusi partai bukannya tidak membawa masalah.
Dalam musim panas tahun ini ketika Jiang Zemin mengumumkan niatnya untuk
membolehkan kaum kapitalis menjadi anggota partai, ia mendapat serangan dari
kiri-kanan. Namun, serangan itu kemudian lenyap begitu saja dan kini Tiga
Representasi dengan mudah dapat masuk ke dalam konstitusi.
Salah satu hal yang menarik dari PKC adalah kemampuannya untuk beradaptasi
dengan tuntutan zaman. Ketika dipimpin Mao ia telah menjai organisasi
politik yang membela rakyat kecil dan mengusahakan terciptanya masyarakat
sosialis di Cina. Ketika Deng memperkenalkan reformasi ekonomi dengan mudah
partai juga melancarkan program itu. Kini, ketika Jiang melihat bahwa
lokomotif dari laju perkembangan ekonomi itu adalah sistem kapitalisme, ia
dengan mudah memperkenankan kaum kapitalis menjadi anggota partai.
Namun segi negatifnya kini partai bukan lagi menjadi suatu kekuatan yang
membela hanya rakyat kecil saja. Di dalamnya sudah ada program untuk
menjadikan Cina sebagai sebuah negara yang makmur dan kuat (fuqiang),
memperkuat kebanggaan sebagai orang Cina, dan menjadikan RRC sebagai sebuah
negara yang mampu bersaing di pentas dunia. Barangkali di masa datang ia
tidak bisa disebut lagi Gongchandang (Partai Komunis) tapi Guomindang
(Kuomintang atau Partai Nasionalis), sama seperti yang ada di Taiwan.

Penulis adalah pengamat Cina..