[Nasional-m] Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam
nasional-m@polarhome.com
nasional-m@polarhome.com
Tue, 19 Nov 2002 19:05:52 +0100
Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
SAYA meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah "organisme" yang hidup;
sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia.
Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi,
lalu dianggap sebagai "patung" indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah.
Saya melihat, kecenderungan untuk "me-monumen-kan" Islam amat menonjol
saat ini. Sudah saatnya suara lantang dikemukakan untuk menandingi
kecenderungan ini.
Saya mengemukakan sejumlah pokok pikiran di bawah ini sebagai usaha
sederhana menyegarkan kembali pemikiran Islam yang saya pandang cenderung
membeku, menjadi "paket" yang sulit didebat dan dipersoalkan: paket Tuhan
yang disuguhkan kepada kita semua dengan pesan sederhana, take it or leave it!
Islam yang disuguhkan dengan cara demikian, amat berbahaya bagi kemajuan Islam
itu sendiri.
Jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan cara
kita menafsirkan agama ini. Untuk menuju ke arah itu, kita memerlukan
beberapa hal.
Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual,
dan sesuai denyut nadiperadaban manusia yang sedang dan terus berubah.
Kedua, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya
yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai
fundamental.
Kita harus bisa membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh '
kultur Arab dan mana yang tidak.
Islam itu kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilainya yang universal harus
diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu,
Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu
hanya ekspresi budaya, dan kita tidak diwajibkan mengikutinya. Aspek-aspek
Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti.
Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah,
tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab.
Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-
praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar
kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan
berkembang sesuai perkembangan Kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.
Ketiga, umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai "masyarakat"
atau "umat" yang terpisah dari golongan yang lain. Umat manusia adalah keluarga
universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah
nilai yang sejalan, bukan berlawanan, dengan Islam. Larangan kawin beda agama,
dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak
relevan lagi. Quran sendiri tidak pernah dengan tegas melarang itu,
karena Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang
sederajat, tanpa melihat perbedaan agama.
Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan antara kedudukan orang Islam
dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal
dalam tataran kemanusiaan ini.
Keempat, kita membutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana
kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi;
sementara pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan
masyarakat melalui prosedur demokrasi.
Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut membentuk nilai-nilai publik,
tetapi doktrin dan praktik peribadatan agama yang sifatnya partikular adalah
urusan masing-masing agama.
Menurut saya, tidak ada yang disebut "hukum Tuhan" dalam pengertian seperti
dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian,
jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang ada adalah
prinsip-prinsip umum yang universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam
klasik disebut sebagai maqashidusy syari'ah, atau tujuan umum syariat Islam.
Nilai-nilai itu adalah perlindungan atas kebebasan beragama, akal, kepemilikan,
keluarga/keturunan, dan kehormatan (honor). Bagaimana nilai-nilai itu
diterjemahkan dalam konteks sejarah dan sosial tertentu, itu adalah urusan
manusia Muslim sendiri.
***
BAGAIMANA meletakkan kedudukan Rasul Muhammad SAW dalam konteks pemikiran
semacam ini?
Menurut saya, Rasul Muhammad SAW adalah tokoh historis yang harus dikaji
dengan kritis, sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja,
tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak
kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).
Bagaimana mengikuti Rasul? Di sini, saya mempunyai perbedaan dengan pandangan
dominan.
Dalam usaha menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah,
Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan.
Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual
Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah
Islam historis, partikular, dan kontekstual. Kita tidak diwajibkan
mengikuti Rasul secara harfiah, sebab apa yang dilakukan olehnya di Madinah
adalah upaya menegosiasikan antara nilai-nilai universal Islam dengan situasi
sosial di sana dengan seluruh kendala yang ada.
Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-off antara "yang universal"
dengan "yang partikular".
Umat Islam harus ber-ijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan
nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. "Islam"-nya Rasul
di Madinah adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal
di muka Bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara
lain, dalam konteks yang lain pula.
Islam di Madinah adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir
di muka Bumi.
Oleh karena itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan melihat contoh
di Madinah saja, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan
penyempurnaan. Bagi saya, wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi; wahyu terus
bekerja dan turun kepada manusia. Wahyu verbal memang telah selesai dalam Quran,
tetapi wahyu nonverbal dalam bentuk ijtihad akal manusia terus berlangsung.
Temuan-temuan besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha menuju
perbaikan mutu kehidupan adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu
dilahirkan oleh akal manusia yang merupakan anugerah Tuhan. Karena itu,
seluruh karya cipta manusia, tidak peduli agamanya, adalah milik orang
Islam juga; tidak ada gunanya orang Islam membuat tembok ketat antara
peradaban Islam dan peradaban Barat: yang satu dianggap unggul, yang lain
dianggap rendah. Sebab, setiap peradaban adalah hasil karya manusia, dan karena
itu milik semua bangsa, termasuk milik orang Islam.
Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran
Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena
itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran,
termasuk yang datangnya dari luar Islam.
Setiap golongan hendaknya menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan
Islam berdasarkan sudut pandangnya sendiri; yang harus di-"lawan" adalah
setiap usaha untuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu.
Saya berpandangan lebih jauh lagi: setiap nilai kebaikan, di mana pun
tempatnya, sejatinya adalah nilai Islami juga. Islam-seperti pernah
dikemukakan Cak Nur dan sejumlah pemikir lain-adalah "nilai generis" yang
bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan
kepercayaan lokal, dan sebagainya.
Bisa jadi, kebenaran "Islam" bisa ada dalam filsafat Marxisme.
Saya tidak lagi memandang bentuk, tetapi isi.
Keyakinan dan praktik keIslam-an yang dianut oleh orang-orang yang menamakan
diri sebagai umat Islam hanyalah "baju" dan forma; bukan itu yang penting.
Yang pokok adalah nilai yang tersembunyi di baliknya.
Amat konyol umat manusia bertikai karena perbedaan "baju" yang dipakai,
sementara mereka lupa, inti "memakai baju" adalah menjaga martabat manusia
sebagai makhluk berbudaya. Semua agama adalah baju, sarana, wasilah,
alat untuk menuju tujuan pokok: penyerahan diri kepada Yang Maha Benar.
Ada periode di mana umat beragama menganggap, "baju" bersifat mutlak dan
segalanya, lalu pertengkaran muncul karena perbedaan baju itu. Tetapi,
pertengkaran semacam itu tidak layak lagi untuk dilanggengkan kini.
***
MUSUH semua agama adalah "ketidakadilan". Nilai yang diutamakan Islam
adalah keadilan.
Misi Islam yang saya anggap paling penting sekarang adalah bagaimana
menegakkan keadilan di muka Bumi, terutama di bidang politik dan ekonomi
(tentu juga di bidang budaya),bukan menegakkan jilbab, mengurung kembali
perempuan, memelihara jenggot, memendekkan ujung celana, dan tetek bengek
masalah yang menurut saya amat bersifat furu'iyyah. Keadilan itu tidak
bisa hanya dikhotbahkan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk sistem dan
aturan main, undang-undang, dan sebagainya, dan diwujudkan dalam perbuatan.
Upaya menegakkan syariat Islam, bagi saya, adalah wujud ketidak berdayaan
umat Islam dalam menghadapi masalah yang mengimpit mereka dan
menyelesaikannya dengan cara rasional.
Umat Islam menganggap, semua masalah akan selesai dengan sendirinya
manakala syariat Islam, dalam penafsirannya yang kolot dan dogmatis,
diterapkan di muka Bumi.
Masalah kemanusiaan tidak bisa diselesaikan dengan semata-mata merujuk
kepada "hukum Tuhan" (sekali lagi: saya tidak percaya adanya "hukum Tuhan";
kami hanya percaya pada nilai-nilai ketuhanan yang universal), tetapi harus
merujuk kepada hukum-hukum atau sunnah yang telah diletakkan Allah sendiri
dalam setiap bidang masalah. Bidang politik mengenal hukumnya sendiri,
bidang ekonomi mengenal hukumnya sendiri, bidang sosial mengenal hukumnya
sendiri, dan seterusnya.
Kata Nabi, konon, man aradad dunya fa'alihi bil 'ilmi, wa man aradal
akhirata fa 'alihi bil 'ilmi; barang siapa hendak mengatasi masalah
keduniaan, hendaknya memakai ilmu, begitu juga yang hendak mencapai
kebahagiaan di dunia "nanti", juga harus pakai ilmu.
Setiap bidang ada aturan, dan tidak bisa semena-mena merujuk kepada
hukum Tuhan sebelum mengkajinya lebih dulu. Setiap ilmu pada masing-masing
bidang juga terus berkembang, sesuai perkembangan tingkat kedewasaan manusia.
Sunnah Tuhan, dengan demikian, juga ikut berkembang.
Sudah tentu hukum-hukum yang mengatur masing-masing bidang kehidupan itu harus
tunduk kepada nilai primer, yaitu keadilan. Karena itu, syariat Islam, hanya
merupakan sehimpunan nilai-nilai pokok yang sifatnya abstrak dan universal;
bagaimana nilai-nilai itu menjadi nyata dan dapat memenuhi kebutuhan untuk
menangani suatu masalah dalam periode tertentu, sepenuhnya diserahkan kepada
ijtihad manusia itu sendiri.
Pandangan bahwa syariat adalah suatu "paket lengkap" yang sudah jadi,
suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman,
adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami sunnah Tuhan
itu sendiri.
Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah sebentuk
kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari
masalah; sebentuk eskapisme dengan memakai alasan hukum Tuhan.
Eskapisme inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana.
Saya tidak bisa menerima "kemalasan" semacam ini, apalagi kalau ditutup-
tutupi dengan alasan, itu semua demi menegakkan hukum Tuhan.
Jangan dilupakan: tak ada hukum Tuhan, yang ada adalah sunnah Tuhan serta
nilai-nilai universal yang dimiliki semua umat manusia.
Musuh Islam paling berbahaya sekarang ini adalah dogmatisme, sejenis keyakinan
yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan obat mujarab atas semua
masalah, dan mengabaikan bahwa kehidupan manusia terus berkembang, dan
perkembangan peradaban manusia dari dulu hingga sekarang adalah hasil usaha
bersama, akumulasi pencapaian yang disangga semua bangsa.
Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara "kami" dengan "mereka",
antara hizbul Lah (golongan Allah) dan hizbusy syaithan (golongan setan)
dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, antara "Barat" dan "Islam";!
doktrin demikian adalah penyakit sosial yang akan menghancurkan nilai dasar
Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang
manusia sebagai warga dunia yang satu.
Pemisah antara "kami" dan "mereka" sebagai akar pokok dogmatisme, mengingkari
kenyataan bahwa kebenaran bisa dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang
disebut "kami" itu, tetapi juga bisa di lingkungan "mereka".
Saya berpandangan, ilmu Tuhan lebih besar dan lebih luas dari yang semata-mata
tertera di antara lembaran-lembaran Quran. Ilmu Tuhan adalah penjumlahan dari
seluruh kebenaran yang tertera dalam setiap lembaran "Kitab Suci" atau
"Kitab-Tak-Suci", lembaran-lembaran pengetahuan yang dihasilkan akal manusia,
serta kebenaran yang belum sempat terkatakan, apalagi tertera dalam suatu
kitab apa pun. Kebenaran Tuhan, dengan demikian, lebih besar dari Islam itu
sendiri sebagai agama yang dipeluk oleh entitas sosial yang bernama umat Islam.
Kebenaran Tuhan lebih besar dari Quran, Hadis dan seluruh korpus kitab tafsir
yang dihasilkan umat Islam sepanjang sejarah.
Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah "proses"
yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah "lembaga agama" yang sudah mati,
baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina 'indal Lahil
Islam (QS 3:19), lebih tepat diterjemahkan sebagai, "Sesungguhnya jalan
religiusitas yang benar adalah proses-yang-tak-pernah-selesai menuju ketundukan
(kepada Yang Maha Benar)." Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya
mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan
panjang menuju Yang Mahabenar.
Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar
kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu.
Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta
jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya. Maka, fastabiqul khairat,
kata Quran (QS 2:148); berlombalah-lombalah dalam menghayati jalan
religiusitas itu. Syarat dasar memahami Isla! m yang tepat adalah dengan tetap
mengingat, apa pun penafsiran yang kita bubuhkan atas agama itu, patokan utama
yang harus menjadi batu uji adalah maslahat manusia itu sendiri. Agama adalah
suatu kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia adalah organisme yang terus
berkembang, baik secara kuantitatif dan kualitatif, maka agama juga harus bisa
mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Yang ada adalah hukum
manusia, bukan hukum Tuhan, karena manusialah stake holder yang berkepentingan
dalam semua perbincangan soal agama ini.
Jika Islam hendak diseret kepada suatu penafsiran yang justru berlawanan dengan
maslahat manusia itu sendiri, atau malah menindas kemanusiaan itu, maka Islam
yang semacam ini adalah agama fosil yang tak lagi berguna buat umat manusia.
Mari kita cari Islam yang lebih segar, lebih cerah, lebih memenuhi maslahat
manusia.
Mari kita tinggalkan Islam yang beku, yang menjadi sarang dogmatisme yang
menindas maslahat manusia itu sendiri.
ULIL ABSHAR-ABDALLA, Koordinator Jaringan Islam
Liberal (JIL), Jakarta
+++++++++++++++++++++++