[Nasional-m] Barter Perempuan dengan Gaharu

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun, 17 Nov 2002 21:53:32 +0100


Kompas
Senin, 18 November 2002

Menyebar HIV di Pedalaman Papua
Barter Perempuan dengan Gaharu

Kompas/Kornelis Kewa Ama
SEBUAH rumah dari papan berukuran 20 x 25 meter persegi. Pada bagian pendopo
rumah di tepi kali Baliem itu duduk lima orang perempuan setengah tua dengan
dandanan menor. Beberapa di antara mereka sedang menemani tamu, beberapa di
antaranya mengarahkan pandangan ke jalan setapak menunggu tamu.Jumat (25/10)
menjelang senja hari, puluhan pria penduduk asli suku Asmat mulai mendatangi
Kampung Kamani yang terbentuk secara mendadak oleh para pengusaha pengumpul
gaharu. Mereka mencari sejumlah perempuan yang dapat diajak berkencan.

Sang mami, pemilik rumah (bar) itu menyajikan sejumlah minuman mulai dari
coca cola sampai robinson dengan kadar alkohol 43 persen kepada sejumlah
pria yang datang. Harga minuman itu dari Rp 10.000 per kaleng hingga Rp
300.000 per botol. Kalau pengunjung tidak memiliki uang, bisa dibon dan
dapat dibayar dengan gaharu.

Sementara di pendopo, perempuan pekerja seks komersial (PSK) tengah sibuk
merayu tamu. Perempuan-perempuan ini adalah mereka yang sudah memasuki usia
di atas 35 tahun, tidak laku di dalam kota kemudian dibawa oleh pengusaha ke
hutan rimba untuk ditukar kayu gaharu.

Walau penampilan sudah peot dan tidak berdaya di kota, tetapi bagi
masyarakat di hutan terpencil, perempuan itu tidak lain adalah gadis usia
belasan tahun yang hadir di tengah mereka. Dandanan yang menor dengan bedak
tebal, kemudian dipolesi handbody, disirami minyak wangi membuat penduduk
setempat terhipnotis dan lupa peran mereka sebagai tuan di daerah itu.

Kalau mereka tidak bawa gaharu, kami tetap melayani seperti biasa. Satu kali
service Rp 200.000 kalau bermalam Rp 500.000. Rata-rata mereka yang datang
ke tempat ini mengantungi uang jutaan rupiah. Uang ini diperoleh dari hasil
jual kayu gaharu, tutur Anna, seorang PSK penghuni rumah (bar) milik Imran
dan Eka di Kampung Kanami, Kecamatan Asgon, pekan lalu.

Sulit dibedakan antara rumah tinggal dan bar. Rumah itu dibangun pengusaha
gaharu dengan tujuan utama mengumpulkan gaharu sebanyak mungkin. Di dalam
rumah itu, satu kamar berukuran 4 x 5 m sebagai gudang penyimpanan gaharu.

Biasanya satu unit rumah terdiri dari 5-10 kamar tidur dengan ukuran
masing-masing kamar 2 x 3 meter persegi. Kamar-kamar ini disewakan kepada
wanita PSK yang didatangkan pengusaha bersangkutan dari Merauke, Timika,
Surabaya, Makassar, dan Manado. Rata-rata berusia di atas 32 tahun dan sudah
pernah menikah.

Satu unit kamar Rp 500.000 per bulan bagi para PSK. Apabila lima kamar
tidur, dalam sebulan pemilik rumah dapat mengumpulkan uang Rp 2,5 juta.
Belum termasuk pajak yang dipungut dari tamu yang masuk menemani PSK di
dalam kamar yang jumlahnya Rp 25.000 per tamu per kamar. Walau masyarakat di
daerah itu belum mengenal adanya pajak.

Sasaran kehadiran pengusaha sejak tahun 1990 dengan rumah bar di tengah
hutan rimba itu adalah mencari kayu gaharu. Gaharu yang diburu adalah bagian
teras dan gubal (bagian antara kulit dan teras) gaharu. Bagian teras jauh
lebih mahal, sampai Rp 10 juta per kg bagi gaharu jenis super, sedangkan
bagian gubal hanya antara Rp 200.000 - Rp 500.000 per kilogram.


***
TAHUN 1999 stok kayu gaharu di sekitar Kampung Kanami, Waganu, Penok, dan
Etji sulit ditemukan. Kayu gaharu di lokasi permukiman umum itu makin
berkurang, pengusaha makin membludak, dan permintaan pasar terus meningkat.

Para pengusaha tidak habis akal. Mereka menilai, sekitar 5-20 km dari Kanami
masih terdapat beberapa kampung kecil yang dihuni penduduk asli dengan
potensi gaharu yang masih utuh dan sangat berkualitas seperti jenis
Aquilaria malacaensis.

Para PSK di rumah (bar) itu diperintahkan pergi ke hutan sambil membawa
bapok (bahan pokok) seperti gula pasir, kopi, beras, korek api, rokok, dan
juga minuman keras seperti jenis robinson dan whisky.

Biasanya satu grup terdiri dari 30-50 orang. Mereka berjalan kaki sepanjang
6-10 jam perjalanan menuju hutan yang diduga banyak gaharu. Di lokasi itu
mereka membuat bifak (tenda) darurat yang masing-masing dihuni dua orang.

Perjalanan perdana mereka dikawal aparat keamanan. Kemudian aparat keamanan
bekerja sama dengan kepala suku menjaga perempuan itu. Aparat keamanan
kembali ke permukiman umum.

Di hutan rimba itu mereka menggunakan lilin sebagai penerangan malam hari.
Tetapi ada pula yang menggunakan mesin diesel hanya untuk menerangi beberapa
tenda dan untuk mengaktifkan televisi dan VCD (karaoke). Untuk mengatasi
nyamuk malaria, mereka menggunakan kelambu. Kelambu ini pun sebagai pengenal
bagi para tamu yang berkunjung. Apabila kelambu tertutup berarti ada tamu
sedang tidur bersama perempuan di dalam, jika terbuka, tamu boleh masuk ke
dalam kelambu itu.

Supaya kelambu tidak kosong, para PSK diinstruksikan agar bersikap ramah
terhadap para tamu. Sekali datang, mereka ingin datang lagi ke tempat itu.
Caranya, pengunjung sering diberi rokok atau minyak wangi dan sapu tangan
untuk dibawa pulang.

Kepada pengunjung bifak disampaikan agar kesempatan datang ke lokasi itu
hanya membawa bagian teras gaharu. Kepada kepala suku dan warga masyarakat
yang dinilai memiliki gaharu cukup banyak, agar PSK dan pengusaha membangun
satu hubungan khusus dengan mereka.

Tamu-tamu penduduk asli yang membawa gaharu 1-2 kg berkualitas tinggi
seperti Aquilaria malacaensis dilayani lebih ramah dan diberi waktu sampai
5-10 hari tinggal di dalam kamar bersama perempuan itu. Selama di kamar itu
dilayani makanan dan minuman oleh sang pemilik rumah. Pemilik rumah pun
memanen gaharu ratusan ton melalui jasa PSK.

Kedatangan penduduk asli ini terdorong oleh perempuan-perempuan yang
menjajakan seks, di samping kebutuhan pokok yang dibawa dari pusat
permukiman umum. Mereka antre masuk keluar kelambu sambil membawa gaharu,
uang, atau tanduk rusa.

Setiap pekan, satu bifak mampu menghasilkan sampai 150 kg gaharu. Gaharu ini
kemudian diantar oleh anak buah pengusaha yang datang menjemput di lokasi
itu ke permukiman utama.

Setiap pekan, 3-5 kapal kayu dengan bobot mati antara 300-500 GT datang dari
Surabaya dan Makassar membawa bahan makanan pokok, kemudian mengangkut
gaharu dari lokasi itu ke daerah tujuan, yakni Probolinggo, Surabaya, dan
Makassar.


***
BARTER PSK dengan gaharu tergantung kualitas gaharu. Guna mengerti dan
memahami jenis dan kualitas gaharu, para PSK harus dibekali pengetahuan
mengenai kualitas dan jenis gaharu oleh majikan di rumah itu.

Di kalangan PSK, pengusaha dan masyarakat asli, mereka mengenal beberapa
jenis gaharu yang dikenal dengan super A, jenis super AB, jenis tanggung,
kacang murni, dan kacang A. Jenis super merupakan jenis yang paling
berkualitas. Namun, ada satu jenis super yang jauh lebih tinggi kualitas
dari super biasa yakni super hitam dan besar. Jenis ini jarang ditemukan
kecuali masuk jauh ke pedalaman Etji.

Jenis super dihargai Rp 7,5 juta per kilo sedangkan super hitam besar Rp 10
juta per kilogram. Jenis paling murah yakni kacang A dengan harga Rp
500.000-Rp 1 juta per kilogram. Tetapi masih ada lagi kelas di bawah kacang
A dengan harga sampai Rp 250.000 per kilogram, namun jenis ini jarang
diminati pengusaha.

Biasanya kayu-kayu ini ditukar dengan perempuan. Lama waktu hubungan itu
tergantung negosiasi. Negosiasi ini ditentukan oleh kualitas kayu gaharu.
Jenis super dan super hitam, sang pemilik gaharu dapat tidur dengan
perempuan di kamar (bifak) itu sampai 5 hari. Selama di tempat itu, segala
kebutuhan pria seperti makan, minum, rokok, seks dan pijat urat dilayani
perempuan bersangkutan.

Setelah selesai masa kontrak, cinta pun bubar. Sang pria kembali ke
habitatnya yang jauh di pedalaman, dan selanjutnya memburu gaharu, sedangkan
sang perempuan tetap parkir menunggu tamu. Kayu gaharu yang sudah banyak
ditumpukkan di bifak diantar lebih awal oleh warga pendatang ke tempat
pemusatan utama di Kampung.

Pasokan bahan pokok tidak pernah habis. Setiap pekan ada sekitar lima unit
kapal dengan bobot mati antara 300-600 GT tiba di Etji membawa bahan pokok,
kemudian dibawa dengan long boat atau speed boat ke berbagai titik
penampungan PSK di wilayah Asmat.

Apabila PSK mendapat penyakit menular biasa seperti sifilis atau Gonorrhea
dapat diobati langsung oleh germo (mami) dengan memberikan obat antibiotik
di lokasi itu. Tetapi, kalau kondisi PSK makin parah akan dikirim ke Timika
atau Merauke.

Rata-rata mereka yang dikirim ke Timika atau Merauke diduga menderita
HIV/AIDS. Setelah tiba di Timika atau Merauke, ada sebagian melapor kepada
lembaga atau dokter yang khusus menangani HIV/ AIDS, tetapi ada pula PSK
yang diam-diam melakukan hubungan seksual dengan bekas (mantan) pacar
sebelum ke pedalaman.

Para PSK ini berasal dari Jawa, Sunda, Jawa Timur, Manado, dan Sulawesi.
Sebagian dibawa oleh pengusaha tetapi sebagian lagi dibawa oleh aparat
keamanan. Ada aparat keamanan justru memberikan modal kepada PSK tertentu
kemudian dikembalikan dengan bunga 100 persen dalam jangka waktu dua bulan.
Misalnya, aparat keamanan meminjamkan modal Rp 2 juta kepada PSK, dua bulan
kemudian dikembalikan Rp 4 juta.

Selama di hutan tidak ada gangguan keamanan. Untuk mengamankan diri, sang
germo mempersenjatai PSK dengan cabai pedas yang ditumbuk halus kemudian
disiram air. Apabila ada orang tertentu yang berniat jahat terhadap mereka,
cabai pedas itu disiramkan ke wajah mereka, kemudian PSK melarikan diri.
Tetapi instruksi germo itu tidak pernah diterapkan karena tidak ada
gangguan.

Hanya sang pengusaha memiliki senjata api. Entah dari mana senjata itu
diperoleh, tidak jelas. Tetapi yang jelas setiap pengusaha (pemilik bar) di
lokasi itu memiliki hubungan akrab dengan aparat keamanan setempat.

Danramil Etji sudah 12 tahun bertugas di tempat itu. Masyarakat
mempertanyakan, mengapa Danramil setempat tidak pernah pindah tempat tugas.
Sementara anak buahnya datang dan pergi silih berganti.

Rumah-rumah (bar) di empat titik prostitusi (barter) yang saling berdekatan
dikapling antar-aparat keamanan. Mereka bertugas menjaga keamanan di lokasi
itu sesuai pembagian wilayah dalam rangka melindungi pengusaha dan PSK.

Menurut Lia, seorang PSK di Kanami, ada anggota TNI yang ditugaskan sebagai
bodyguard untuk memantau setiap orang masuk keluar wilayah itu. Anggota TNI
itu pun memiliki fasilitas canggih seperti HP satelit dengan nomor khusus
yang bisa akses langsung ke Jakarta.

Apabila ada speedboat atau long boat yang mendarat di kali, bodyguard itu
langsung menginformasikan ke seluruh lokasi agar semua kegiatan dihentikan
sementara. Kalau ada tenaga kesehatan atau orang baru, bodyguard terus
membuntuti orang bersangkutan ke mana saja ia pergi, kata Lia.

Secara terpisah Kepala Kecamatan Atjs, Albert Trapani mengatakan, baru satu
bulan bertugas di Kecamatan Atjs. Di Atjs setiap pekan disinggahi sekitar 10
kapal kayu dari Surabaya dan Sulawesi. Tetapi pihaknya belum mengetahui
tujuan kedatangan kapal-kapal itu.

Ada informasi dari masyarakat, kapal-kapal itu mengangkut gaharu ke luar
Papua. Tetapi saya belum mendapat laporan resmi. Ketika kami turun ke
lapangan pun tidak menemukan adanya sistem barter gaharu dengan perempuan di
Atjs. Atau mungkin, mereka melihat kami orang asli yang dinilai
berpendidikan di lokasi itu, sehingga menyembunyikan kegiatan itu dari kami,
kata Albert.

Kecamatan Atjs dengan ibu kota Atjs memiliki sekitar 20.000 penduduk, dan
delapan kampung. Di daerah ini belum ada penelitian terhadap PSK yang
terinfeksi HIV/ AIDS.

Di Kecamatan Asgon (Assue), menurut penelitian dr Riky Bolang dari Dinas
Kesehatan Merauke, di kota Etji berbatasan dengan Atjs saja, dari 80 PSK
sudah delapan orang positif mengidap HIV dan AIDS. Apabila menggunakan teori
gunung es maka dapat dipastikan dari 27.000 penduduk di kecamatan itu
sebagian besar terinfeksi penyakit yang mematikan itu.

Di Kampung Kanami terdapat sekitar 60 pengusaha kayu gaharu dengan jumlah
rumah (bar) 60 unit, dengan kamar antara 4-5 kamar per unit rumah (bar).
Dengan demikian terdapat antara 240-300 PSK di lokasi itu. Walau jumlah ini
dibantah Camat Asgon (Assue), Jitmau. Menurut Jitmau di Kanami hanya 60 PSK.

Kampung-kampung di Kecamatan Asgon dan Kecamatan Atsj sulit didefinisikan
seperti kebanyakan kampung di Papua. Kampung itu muncul musiman, kompleks
lokalisasi, barter perempuan dengan gaharu, permukiman penduduk, tempat
minum-minum, karaoke/diskotek.

Sebelumnya lokasi itu hanya dihuni beberapa penduduk lokal. Para pengusaha
membangun lokasi itu karena sangat strategis, datar dan mudah dimasuki kapal
kayu dari luar Papua.

Kekurangan tenaga medis, dan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai
penyakit HIV/AIDS mempercepat proses penularan HIV/AIDS di kalangan suku
Asmat, Papua. Jika Pemda tidak turun tangan menangani masalah itu, 5-10
tahun lagi ada suku yang punah di Papua karena AIDS termasuk suku Asmat ini,
kata dr Bolang. (KOR)