[Nasional-m] Imperialisme Linguistik

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 14 Nov 2002 00:09:23 +0100


Kompas
Kamis, 14 November 2002

Imperialisme Linguistik
Anita Lie

BAHASA Inggris sudah menjadi bahasa kaum elite di banyak negara berkembang
dan cenderung berkaitan dengan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Di
banyak negara, bahasa Inggris bisa diakses dengan lebih mudah oleh
orang-orang dari kalangan terdidik dan mampu secara finansial. Sebaliknya,
pengetahuan bahasa Inggris sudah menjadi sarana untuk mengakses sumber daya
yang berharga dan posisi-posisi bergengsi.

Di Indonesia pun, bahasa Inggris menunjukkan indikasi peningkatan pemakaian
yang sangat kuat. Walaupun bahasa Indonesia berhasil mengukuhkan posisinya
sebagai bahasa nasional dan menjadi lingua franca serta dikhawatirkan
menggeser kedudukan bahasa daerah (15 Juta Lebih Penduduk Indonesia Tuna
Aksara, Kompas, 10/10/2002, hlm 10), penggunaan bahasa Inggris sebagai
bahasa asing makin mapan dengan dukungan sektor pendidikan formal: bahasa
Inggris diajarkan secara resmi sebagai bahasa asing di tingkat sekolah
menengah pertama dan umum (6 tahun).

Di banyak kota dan daerah, bahasa Inggris bahkan diajarkan sejak sekolah
dasar dan taman kanak-kanak. Fenomena yang muncul akhir-akhir ini adalah
beberapa sekolah unggulan di Jakarta dan Surabaya menjanjikan kurikulum
nasional plus atau semi-internasional melalui penggunaan bahasa Inggris
sebagai bahasa pengantar.

Belajar bahasa Inggris di sekolah dasar dan menengah memenuhi dua tujuan.

Pertama, siswa perlu mempersiapkan diri agar bisa membaca buku teks dalam
bahasa Inggris di tingkat perguruan tinggi.

Kedua, kemampuan berbahasa Inggris juga masih digunakan sebagai faktor
penentu untuk mendapatkan posisi dan imbalan yang menarik dalam lapangan
pekerjaan. Banyak iklan lowongan pekerjaan mencantumkan kemampuan berbahasa
Inggris sebagai salah satu persyaratan utama.

Kenyataan ini tampaknya mendorong popularitas kursus-kursus bahasa Inggris
di luar jalur pendidikan formal. Walaupun bahasa Inggris secara resmi
diajarkan di jenjang sekolah menengah di Indonesia, umumnya kompetensi dalam
bahasa ini di kalangan para lulusan sekolah menengah umum masih tergolong
rendah.

Murid dari kelas sosial ekonomi menengah dan atas, mempunyai lebih banyak
akses dan kesempatan untuk meningkatkan kelancaran berbahasa Inggris sampai
pada tingkat di atas kemampuan rata-rata teman sebayanya melalui beberapa
sarana seperti kursus, pemelajaran bahasa melalui komputer dan Internet,
eksposur melalui saluran dan stasiun televisi asing, film-film
asing dan jejaring dengan masyarakat asing.

Sebagai gambaran keterbatasan akses bagi orang-orang dari kalangan sosial
ekonomi bawah, biaya kursus bahasa Inggris untuk satu termin (kurang lebih
20 kali pertemuan) dari Rp 200.000 sampai dengan Rp 900.000, padahal upah
minimum regional kurang lebih Rp 350.000 sampai dengan Rp 500.000 per bulan.
Jelas sekali bahasa Inggris juga berperan penting dalam penajaman
stratifikasi sosial di Indonesia.

Di luar dunia akademis dan profesional, terus terjadi peningkatan jumlah
pemakai bahasa Inggris-mulai dari tingkat yang paling minim sampai dengan
tingkat kemampuan mendekati penutur asli-terutama di kalangan segmen muda
usia kelas menengah perkotaan. Bahasa Inggris juga telah menjadi penanda
sosial yang berfungsi sebagai garis pemisah dalam interaksi sosial di antara
segmen-segmen yang berbeda dalam masyarakat.

Beberapa stasiun televisi pun menggunakan medium bahasa Inggris dalam
segmentasi pasar mereka dan menayangkan acara seperti Headlines, Hot Shot,
dan Head to Head. Lebih lanjut lagi, program-program televisi ala MTV lebih
suka merekrut pembawa acara dari kalangan lulusan universitas atau pernah
hidup di luar negeri.

Para orang muda pun mengucapkan penggalan-penggalan frasa berbahasa Inggris
untuk menonjolkan gaya hidup perkotaan mereka. Penanda sosial ini lebih
lanjut menjadi garis pemisah dalam interaksi sosial di antara segmen-segmen
yang berbeda dalam masyarakat.


***
DALAM sektor ekonomi, bahasa Inggris digunakan sebagai sarana pemasaran dan
pemisah antarkelas sosio ekonomi. Produk yang ditargetkan untuk dikonsumsi
orang-orang dari kalangan sosio ekonomi menengah dan atas, dipasarkan
melalui iklan-iklan berbahasa Inggris atau campuran bahasa Inggris dan
Indonesia. Bahkan, kadangkala barang atau jasa untuk kalangan menengah dan
atas itu juga diberi nama dari bahasa Inggris.

Segmentasi pasar yang dilakukan oleh suatu perusahaan juga dilakukan melalui
penggunaan bahasa Inggris. Misalnya, suatu perusahaan perumahan memberi nama
Regency, Westwood, dan sejenisnya untuk rumah-rumah mewah dan nama-nama
Graha Asri, Puri Indah untuk tipe 70 ke bawah. Kompleks yang ditargetkan
untuk kalangan menengah dan atas disebut sebagai Villa Estate, Residences,
dan sebagainya.

Untuk jenis kompleks semacam itu, label "perumahan" terkesan murah dan
kurang berkelas. Terjemahan langsung dari riverside apartment adalah rumah
susun pinggir kali, tetapi pemilihan istilah yang mana yang dipakai akan
sangat menentukan kesan dan pemasaran produk perumahannya.

Alasan yang mendorong fenomena tersebut mungkin karena kelas menengah dan
atas yang dianggap lebih dekat-atau lebih ingin dan mampu mendekatkan
diri-dengan dunia luar (dalam hal ini dunia yang berbahasa Inggris).

Kolonialisme budaya dan linguistik melalui bahasa Inggris ini juga masih
terjadi dan makin dikukuhkan dalam industri pengajaran bahasa Inggris di
Indonesia. Program kursus yang diajarkan oleh instruktur penutur asli dijual
dengan harga dua kali lipat dibandingkan dengan program yang diajarkan oleh
instruktur lokal walaupun belum tentu kualifikasi instruktur lokal lebih
rendah dibanding kualifikasi penutur asli.

Perbedaan harga itu juga terlihat pada program persiapan TOEFL yang mestinya
bisa diajarkan oleh instruktur lokal dengan sama baiknya-atau mungkin bahkan
lebih baik-dibandingkan instruktur penutur asli mengingat program persiapan
TOEFL mengutamakan ketepatan berbahasa yang justru merupakan kekuatan
instruktur lokal. Toh, perbedaan harga ini tidak menjadi masalah bagi
konsumen dan kursus bahasa Inggris oleh penutur asli tetap saja makin laris
dan populer.

Bahasa mewakili dan sekaligus membangun realita sosial. Bahasa memosisikan
manusia dan menciptakan identitas dan relasi. Bahasa juga menciptakan suara
dan penghargaan bagi mereka yang boleh bicara dan menulis. Di Taiwan,
Hongkong, dan Singapura, tenaga kerja wanita (TKW) asal Filipina dan
India-karena kemampuan bahasa Inggris mereka-mendapat upah yang lebih tinggi
daripada yang berasal dari Indonesia, Banglades, dan Sri Lanka.


***
JIKA penyebaran dan pertumbuhan bahasa Inggris tidak mungkin lagi dihindari
dalam peta kekuasaan dunia, upaya yang bisa dilakukan bukanlah menghentikan
atau memperlambat pertumbuhan bahasa Inggris di Indonesia. Upaya ini akan
sia-sia saja dan malah tidak akan menguntungkan posisi Indonesia dalam waktu
dekat ini.

Yang perlu kita lihat adalah kebutuhan untuk menjinakkan penyebaran bahasa
Inggris, untuk memastikan bahwa bahasa ini tidak bertindak sebagai rintangan
dalam perolehan ilmu pengetahuan maupun pengembangan pribadi dan bangsa.

Belajar dan menggunakan satu bahasa tambahan merupakan cara yang sangat
ampuh untuk menghargai dan memahami budaya-budaya lain. Seperti yang
dikatakan Mahatma Gandhi, "Saya tidak ingin rumah saya ditemboki pada semua
bagian dan jendela saya ditutup. Saya ingin budaya-budaya dari semua tempat
berembus di seputar rumah saya sebebas mungkin. Tetapi, saya menolak untuk
terbawa dan terempaskan."

Dr Anita Lie Direktur Heritage Language School, Surabaya dan Malang