[Nasional-m] Menyoal Tiga Pimpinan DPR Bermasalah

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon, 11 Nov 2002 22:41:40 +0100


Media Indonesia
Selasa, 12 November 2002

Parliament Watch
Menyoal Tiga Pimpinan DPR Bermasalah

TIGA pimpinan DPR dituduh terlibat kasus suap. Karena baru dituduh berarti
mereka belum tentu bersalah, seperti AM Fatwa. Tapi, tuduhan itu tentunya
sudah merusak citra DPR. ''Haruskah pimpinan DPR lalu dikocok ulang, dan
bagaimana agar DPR kembali berwibawa,'' tutur Denny JA saat memandu diskusi
interaktif Parliament Watch di Metro TV, Kamis (7/11) lalu.

Hadir dalam diskusi tersebut Marwah Daud Ibrahim (anggota DPR dari Fraksi
Partai Golkar), Patrialis Akbar (anggota DPR dari Fraksi Reformasi), Rachlan
Nashidiq (aktivis LSM), dan Harun Alrasid (ahli hukum tata negara dari
Universitas Indonesia).

Anggota dan pimpinan DPR terlibat pembahasan secara intens, bagaimana negara
bisa keluar dari krisis. Sementara publik merasa puas melihat para wakil
rakyat dengan gigih memegang amanah untuk mengubah Indonesia pascareformasi.
Namun, gambaran itu hanyalah angan-angan, karena lembaga DPR begitu
terperosok. Perdebatan di DPR bukanlah bagaimana membangun Indonesia baru,
melainkan bagaimana agar mereka bisa menyelamatkan ketua DPR.

Dari lima pimpinan DPR dari partai besar, yang paling bermasalah adalah
Ketua DPR yang juga menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Namun, Akbar Tandjung
tidak sendirian, karena kini kasus korupsi juga menyebar ke pimpinan
lainnya.

AM Fatwa, Ketua DPR dari Fraksi Reformasi, dituduh oleh Permadi, anggota DPR
dari Fraksi PDIP, pernah menawarkan uang sebesar Rp20 miliar untuk menyogok
sebuah tim kecil. Dengan 'sumpalan' uang Rp20 miliar itu diharapkan DPR tak
lagi mengungkit-ungkit kasus uang palsu dan kualitas buruk produksi uang
dari PT Pura. Tentu saja AM Fatwa membantah tuduhan tersebut, bahkan membawa
lebih lanjut tuduhan atas dirinya itu ke pengadilan sebagai fitnah dan
pencemaran nama baik. Walaupun belum ada keputusan hukum atas kasus ini,
wibawa DPR makin merosot akibat kasus yang menimpa pimpinannya.

Selain Akbar dan Fatwa, satu lagi pimpinan DPR yang terkena kasus adalah
Tosari Widjaya, Ketua DPR dari Fraksi PPP. Ia dianggap melanggar karena
menginvestasikan uang PPP Rp5 miliar ke PT Qurnia Subur Alam Raya. Sesuai
dengan peraturan yang berlaku, partai dilarang memiliki saham di sebuah PT.
Karena pelanggaran tersebut, PPP bisa terancam larangan mengikuti Pemilu
2004.

Akbar Tandjung, AM Fatwa, dan Tosari Widjaya adalah tiga dari lima pimpinan
DPR. Apa jadinya jika DPR yang dulunya sangat kita banggakan sebagai produk
pemilu demokratis dipimpin oleh tokoh-tokoh kontroversial? Apabila
pimpinan-pimpinan DPR bermasalah, bagaimana dengan mayoritas anggota-anggota
DPR-nya? Hal inilah yang hendak dijawab keempat pembicara.

Bertahan

"Ketua Fraksi (Partai) Golkar sudah mengancam akan memberikan sanksi, tetapi
Anda tetap mendesak agar Akbar Tandjung mundur dari jabatan Ketua DPR.
Mengapa Anda tetap bersikukuh?'' tanya Denny JA kepada Marwah Daud.

Menjawab pertanyaan itu, Marwah mengatakan bahwa hasil pemilu yang membawa
dirinya ke Gedung DPR RI. Dan, keberadaannya dipantau oleh rakyat Indonesia.
"Sewajarnya rakyat memantau anggota DPR, terutama kaum muda sebagai
penggagas reformasi." Menurut Marwah, seharusnya loyalitas anggota DPR
kepada agenda reformasi, bukan kepada Ketua DPR atau ketua partai.

Mengenai pernyataannya bahwa Akbar akan mundur dari jabatan Ketua DPR pada
Oktober, menurut Marwah, karena ia yakin bahwa sebagai tokoh pemuda, pernah
jadi Ketua Umum HMI, penggagas Kelompok Cipayung, dan pernah menjadi Menteri
Pemuda dan Olahraga, Akbar akan memberikan rakyat Indonesia 'hadiah' pada
Hari Sumpah Pemuda.

Mengenai upaya yang dilakukannya untuk mendesak agar Akbar mundur, Marwah
menyatakan hal itu bukan didasarkan pada perhitungan banyaknya pendukung,
melainkan karena keyakinan akan kebenaran yang diperjuangkan. ''Saya tidak
pernah menghitung bersarnya jumlah pendukung saya. Walaupun cuma sendirian,
kalau Anda yakin akan kebenaran, harus diperjuangkan,'' tutur Marwah.

Sementara Patrialis Akbar mengatakan bahwa tuntutan akan menegakkan
kebenaran di DPR bukan lantaran untuk ikut-ikutan. Tetapi, ingin membuktikan
kepada rakyat bahwa mereka benar-benar berjuang untuk kepentingan bangsa dan
negara.

Mengenai tuduhan terhadap AM Fatwa terlibat kasus uang, menurut Patrialis,
hal itu perlu diklarifikasi. ''Dengan pernyataan bahwa tiga pimpinan DPR
bermasalah, perlu dicatat bahwa bermasalah belum tentu bersalah,'' ungkap
Patrialis.

Menurut Patrialis, mereka yang dinyatakan bermasalah bisa betul-betul
bersalah. Tetapi juga bisa hanya karena direkayasa orang lain sehingga dia
dinyatakan bersalah. Inilah suatu proses pembunuhan karakter seseorang yang
sudah sering terjadi. ''Kasus Fatwa tidak bisa disejajarkan dengan Akbar
Tandjung. Sangat berbeda, seperti siang dan malam. Untuk membuktikan dirinya
tidak bersalah, dia melapor ke polisi (bahwa) dirinya difitnah. Status Pak
Fatwa sekarang sebagai pelapor, bukan sebagai tersangka,'' ujarnya.

Patrialis menambahkan, Permadi sendiri sudah mengatakan bahwa ia tidak
pernah mengatakan Fatwa menyogok. "Justru yang dikatakan Pak Permadi, Pak
Fatwa tidak mau uang, tetapi hanya mau membela negara."

Mengenai tuduhan buruknya kinerja DPR, menurut Patrialis tidak seluruh
anggota DPR buruk, sehingga harus lebih berhati-hati memberi penilaian
tersbeut. Sebab, banyak pula anggota DPR yang bekerja dengan sungguh-sungguh
dan menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Sekarang yang dituntut adalah
bagaimana kualitas kerja DPR dalam melakukan pengawasan, sehingga bisa
meminimalisasi praktik-praktik KKN.

''Sekarang sudah tidak ada lagi pemerintahan otoriter, dan pers sudah
benar-benar bebas. Ini adalah hasil kerja DPR. Walau mesti diakui bahwa ada
anggota DPR yang tidak bisa bekerja,'' ungkap Patrialis.

Supremasi sipil

Korupsi merajalela dan huru-hara terjadi di mana-mana ini, apakah cermin
kegagalan politisi? Menurut Rachlan Shiddiq, wajah DPR saat ini benar-benar
menjijikkan. Tetapi, hal ini tidak menunjukkan bahwa buruknya citra DPR
adalah akibat dari supremasi sipil dalam pemerintahan.

"Kalaupun fenomena di DPR sekarang sangat memprihatinkan, hal itu tidak
terletak pada kesalahan (misalnya) AM Fatwa. Akan tetapi, yang harus
ditunjukkan apakah rakyat akan menghukum partai yang telah mengkhianati
janjinya kepada konstituen dengan tidak memilih lagi partainya."

Menurut Rachlan, pada dasarnya dalam tubuh Golkar belum terjadi perubahan
apa-apa. Karena pada era Presiden Habibie, Marwah Daud dan kawan-kawan dari
kelompok Iramasuka (Irian, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan) tidak berbuat
apa-apa. Sebaliknya, Akbar dan teman-temannya dianggap reformis karena ingin
menurunkan Habibie.

Secara terpisah, Harun Alrasid tidak setuju dengan penilaian khusus terhadap
pimpinan DPR. Yang harus dipandang adalah anggota DPR yang berjumlah 500
orang. Bahwa ada pimpinan DPR yang diduga terlibat, menurut Harun, pimpinan
DPR yang bersangkutan juga sebagai anggota DPR.

Menyinggung Akbar, Harun membandingkannya dengan stutus seorang pegawai
negeri, yaitu apabila dalam proses hukum dinyatakan sebagai tersangka maka
dia bisa diberhentikan sementara. Demikian pula bagi kepala daerah yang
berstatus sebagai tersangka, sudah bisa diberhentikan sementara.

Sayang, anggota DPR tidak memiliki aturan semacam itu. Sebab, seorang
anggota DPR dianggap terhormat dan berbudi luhur sehingga tidak perlu diberi
sanksi semacam itu. Padahal, UUD 1945 setiap warga negara memiliki kedudukan
yang sama di depan hukum, tanpa ada diskriminasi. Mengenai pimpinan DPR yang
bermasalah, apakah akan mundur atau tidak, menurut Harun, memang tidak ada
ketentuan hukum yang mengaturnya. Karena itu, apakah yang bersangakutan itu
akan mundur atau akan maju terus, itu tergantung pada yang bersangkutan.
(Rasyid R Sulaiman/ M-5)