[Nasional-m] Tidakkah Pemulihan Ekonomi Ini Melelahkan Kita Semua

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon, 11 Nov 2002 22:34:31 +0100


Kompas
 Selasa, 12 November 2002

TAJUK RENCANA
Tidakkah Pemulihan Ekonomi Ini Melelahkan Kita Semua

SEORANG bankir menceritakan tentang sebuah seminar mengenai ekonomi
Indonesia yang ia hadiri. Salah satu topik yang dibahas adalah soal
kekhawatiran Indonesia terjebak dalam apa yang dinamakan recovery fatigue,
kelelahan pemulihan.


Apa itu recovery fatique? Suatu kondisi di mana kita merasa lelah karena
berbagai upaya pemulihan ekonomi sepertinya tidak membawa hasil apa-apa.

Lalu apa akibatnya? Inilah yang kita khawatirkan. Kelelahan itu membuat
orang putus asa dan akhirnya membuat orang berpikir pendek dengan saling
memperkaya diri sendiri, kembali terjebak dalam praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN).

Kita tidak tahu apakah recovery fatigue itu sudah terjadi di negeri ini atau
belum. Tetapi, kalau kita tanya kepada orang yang ada di sekitar kita, pasti
mereka akan menjawab bahwa krisis yang sudah lebih dari empat tahun kita
rasakan sungguh sangat melelahkan.


SIAPA yang tidak akan merasa lelah, kalau kita hanya berputar-putar terus di
tempat yang sama. Persoalan yang kita hadapi seperti itu-itu saja dan tidak
pernah ada jalan keluar yang bisa diberikan.

Sekarang ini ramai lagi dibicarakan soal penyelesaian kewajiban pemegang
saham (PKPS) eks bank-bank yang dilikuidasi atau diambil alih pemerintah.
Padahal, persoalan ini sudah kita bicarakan panjang lebar di awal tahun ini.

Seperti di awal tahun, kita juga dihadapkan pada dua pandangan yang saling
berseberangan. Satu pihak berpendapat bahwa perlu diberi kesempatan kepada
para debitor untuk melunasi kewajibannya, termasuk dengan memberikan
pengurangan jumlah utang. Kelompok lain berpendapat bahwa cukup sudah batas
kesabaran kita dan kali ini lebih baik diambil tindakan hukum, semahal apa
pun harga yang harus kita bayar.


BAGAIMANA masyarakat umum bisa memahami dan mendukung langkah yang sebaiknya
kita ambil, kalau saja di tubuh kabinet sendiri terjadi perbedaan pendapat
yang begitu tajam. Seperti biasa, perbedaan itu meluap keluar sehingga
membuat kita bingung, mau dibawa ke mana sebenarnya pemulihan ekonomi
sendiri.

Kita berpendapat bahwa seharusnya perbedaan itu dibicarakan habis-habisan di
dalam kabinet. Semua berbicara tentang untung-rugi yang akan kita hadapi
dari setiap langkah yang akan diambil.

Barulah setelah kesepakatan itu diraih, langkah yang akan ditempuh itu
disosialisasikan kepada kita, masyarakat. Rasanya kita sadar bahwa dengan
tingkat kerusakan ekonomi seperti sekarang ini, tidak ada keputusan yang
bisa memuaskan semua pihak. Bagi kita, sekarang ini pilihannya bukan lagi
baik atau buruk, tetapi antara buruk dan kurang buruk.


SEBENARNYA bukan tidak ada konsep pemulihan ekonomi yang ingin diterapkan
pemerintah. Sejauh yang coba kita tangkap dari penjelasan pejabat ekonomi,
langkah pemulihan yang ingin kita tempuh dibagi dalam tiga tahapan.

Pertama adalah tahap stabilisasi moneter. Pemerintah berupaya agar fluktuasi
nilai tukar rupiah terkendali, suku bunga Bank Indonesia terus menurun, dan
inflasi tidak sampai dua digit. Sampai di sini pemerintah menilai target
tahap pertama itu sudah terpenuhi. Tahap kedua yang kemudian dilakukan
pemerintah adalah penegakan hukum dan keamanan. Meski belum sepenuhnya bisa
dicapai, namun pemerintah menilai upaya untuk memberikan kepastian hukum
sudah dilakukan dan akan terus menjadi prioritas.

Setelah dua tahapan itu dilakukan, pemerintah berniat memasuki tahap
menentukan bagi dilaksanakannya pemulihan ekonomi, yakni memacu bergeraknya
sektor riil. Itu bisa dilihat dari dipercepatnya penjualan aset di Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), divestasi Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), dan PKPS itu.


KITA mengetahui, untuk tahapan ketiga itu pemerintah dihadapkan pada posisi
yang dilematis. Untuk penjualan aset BPPN, di satu sisi pemerintah menyadari
adanya aturan bahwa pemilik lama dilarang membeli asetnya kembali. Namun,
dalam praktiknya sulit untuk mencegah pemilik lama ikut membeli, apalagi
jika itu dilakukan di pasar sekunder.

Hal yang kedua, pemerintah menyadari bahwa pihak yang memiliki dana untuk
membeli aset-aset itu adalah para pemilik lama. Apalagi, kalau diingat
aset-aset itu dibangun dengan berbagai macam praktik penggelembungan biaya,
mark up, sehingga mustahil ada pemilik baru yang mau membeli aset yang sudah
mengalami penyusutan itu dengan harga yang tinggi.

Ada pilihan yang lebih tegas, yakni dengan memasukkan para debitor nakal itu
ke dalam penjara. Namun, selain dirasakan tidak mudah untuk memasukkan orang
ke dalam penjara, ada ketakutan siapa yang harus menggerakkan ekonomi negara
ini. Dirasakan betul bahwa membentuk pengusaha baru itu tidaklah mudah,
apalagi untuk mengelola aset-aset besar seperti yang dimiliki konglomerat
besar lama.


PILIHAN-pilihan itu kita akui memang dilematis. Namun, bagaimanapun
keputusan harus diambil, karena tidak mungkin seumur-umur kita hidup dalam
ketidakpastian.

Seperti berulangkali kita sampaikan, karena dilematis maka sebaiknya
keputusan kita ambil secara bersama-sama. Semua komponen bangsa diajak untuk
ikut dalam mengambil keputusannya yang terasa pelik ini.

Namun, itu tadi, semua langkah tersebut hendaknya dimulai dengan menjelaskan
secara terbuka apa yang hendak dilakukan pemerintah. Kemudian dijelaskan
konsekuensi-konsekuensi apa yang harus kita hadapi dari setiap keputusan
yang kita ambil.

Tidak seperti sekarang, penjelasan mengenai tahap pemulihan pun tidak pernah
diungkap secara terbuka. Akibatnya, ketika keputusan hendak diambil maka
muncul kecurigaan-kecurigaan. Apalagi keputusan itu diambil dalam kelompok
kecil yang sangat tidak transparan sehingga wajar apabila menimbulkan
pertanyaan.


SAMPAI kapan kita akan membiarkan keadaan seperti ini terus berlangsung?
Tidakkah kita menyadari bahwa bangsa ini sudah lelah dengan berbagai upaya
pemulihan yang tidak kunjung memberi hasil.

Nasib Komunisme Cina Mulai Dipertanyakan

JIKA Deng Xiaoping disebut perintis reformasi Cina dalam bidang ekonomi maka
Jiang Zemin pada suatu saat nanti bisa dianggap perintis pembaruan di bidang
politik.


Dilihat dari urutan proses, perubahan dalam bidang politik merupakan
kelanjutan reformasi bidang ekonomi.

Presiden Jiang, yang merangkap sebagai Ketua Partai Komunis Cina (PKC),
mengeluarkan ajaran "Tiga Perwakilan". Selama ini, PKC hanya memiliki dua
perwakilan, yakni petani dan buruh industri. Dengan konsep tiga perwakilan,
Jiang ingin memasukkan kaum kapitalis atau borjuasi dalam PKC sebagai
perwakilan ketiga.

Proses perubahan sistem perwakilan dalam PKC ditempuh dengan mengamandemen
anggaran dasar partai, yang melakukan kongres ke-16 sejak Jumat 8 November
lalu. Amandemen ini dianggap sebagai langkah awal reformasi dalam bidang
politik.

Pada tingkat alas rumput, Cina sudah mulai mempraktikkan sistem pemilihan
demokratis di pedesaan. Proses demokratisasi akan terus melangkah ke jenjang
yang lebih tinggi, jika dasar kehidupan demokratis di pedesaan sudah solid.


MODEL pembaruan dan perubahan yang dilaksanakan Cina telah menjadi
pembicaraan luas di mana-mana. Langkah pembaruan dirancang bertahap dan
begitu sistematis. Setelah perubahan dalam bidang ekonomi semakin mantap,
Cina mulai merintis perubahan dalam bidang politik.

Reformasi politik sejauh dilaksanakan secara hati-hati dan terencana,
diperkirakan akan memberi dampak positif terhadap kehidupan ekonomi. Citra
Cina di panggung dunia akan semakin perkasa jika kemajuan ekonomi berjalan
secara paralel dengan kemajuan kehidupan politik yang demokratis.

Langkah perubahan yang dilakukan Cina begitu khas dan pragmatis. Sangat
terkenal ucapan Deng, "Tidak peduli apa warna seekor kucing, tapi yang
terpenting adalah dapat menangkap tikus." Namun, prakarsa Deng pada tahap
awal sempat mengundang kontroversi.

Ketika Perang Dingin masih memuncak dan sistem komunisme masih solid di
tingkat global, Deng tiba-tiba melakukan reformasi dalam bidang ekonomi
tahun 1978, atau dua tahun setelah Mao Zedong meninggal.


LIBERALISASI Deng dalam bidang ekonomi dianggap telah mengkhianati ortodoksi
komunisme. Namun, setelah waktu berjalan, orang mulai melihat betapa
hebatnya visi Deng. Sosok Deng sebagai pemimpin yang mempunyai jangkauan
visi jauh ke depan semakin mencolok ketika Uni Soviet ambruk tahun 1989.

Uni Soviet tidak bisa bertahan lebih lama karena Partai Komunisme Uni Soviet
(PKUS) gagal memperbarui dirinya dan akhirnya mengalami kebangkrutan.
Totalisasi dan sentralisasi dalam bidang politik dan ekonomi sudah tidak
cocok lagi dengan perkembangan zaman yang berubah begitu cepat.

Ketika Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev berusaha melakukan perubahan
melalui program glasnost (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi),
semuanya dianggap sudah terlambat. Namun, tidak sedikit pula yang menilai,
proses perubahan yang dilakukan Gorbachev terlalu tiba-tiba dan serempak
dalam bidang ekonomi maupun politik, telah menimbulkan guncangan hebat.

Sekiranya perubahan dilakukan secara bertahap dan tidak serempak, seperti
ditempuh Cina, nasib Uni Soviet mungkin tidak akan menjadi begitu tragis.
Kehancuran Uni Soviet pun berlangsung sangat cepat, bahkan jauh lebih cepat
dari perkiraan siapa pun.


KIRANYA semakin menarik untuk disandingkan proses perubahan di Uni Soviet
dan Cina. Jauh sebelum Gorbachev melancarkan perubahan, Cina sudah mulai
menempuh reformasi menjelang akhir dasawarsa 1970-an.

Gerakan reformasi dalam bidang ekonomi Cina dimulai sangat pelan dari
tingkat petani pedesaan. Pergolakan pun dapat diredam. Tanah-tanah koletif
mulai dibagi ke petani-petani untuk merangsang produktivitas. Eksperimen itu
terbukti berhasil.

Proses perubahan terus berlanjut dalam sektor ekonomi modern, yang memberi
keleluasaan sektor swasta untuk lebih berkiprah. Perekonomian Cina pun terus
menggeliat. Negeri itu kini menjadi satu-satunya negara di dunia yang tidak
tersentuh resesi ekonomi, dan mengalami tingkat pertumbuhan 8-9 persen per
tahun.


PERKEMBANGAN yang begitu maju dalam bidang ekonomi tidak diikuti oleh
perubahan dalam bidang politik. Deng dan pemimpin Cina lainnya memang
sengaja menahan dan menunda perubahan dalam bidang politik.

Sistem totalisasi dan sentralisasi dalam bidang politik sengaja
dipertahankan untuk menjamin stabilitas sosial politik. Asumsinya, proses
pembangunan ekonomi terhalang jika tidak terjamin stabilitas politik.

Pengalaman Uni Soviet di bawah kepemimpinan Gorbachev memperlihatkan betapa
perubahan serempak dalam bidang ekonomi dan politik menimbulkan pergolakan
luar biasa. Arus liar gerakan pembaruan tidak bisa dibendung, bahkan
Gorbachev sendiri akhirnya terpental.

Pilihan Cina dalam melakukan proses perubahan semakin dinilai tepat setelah
melihat nasib Uni Soviet dan Gorbachev. Apalagi perbaikan dimulai dari
ekonomi, yang memang menjadi infrastruktur paling penting bagi kehidupan.


SETELAH basis kehidupan ekonomi mulai menguat, memang saatnya bagi Cina
melakukan perbaikan dalam bidang politik. Jika perubahan dalam bidang
politik tidak dilaksanakan, frustrasi akan meningkat, lebih-lebih di
kalangan kelas menengah Cina.

Kemajuan ekonomi telah menciptakan kelas menengah baru di Cina. Setelah
kebutuhan ekonomi terpenuhi, orang membutuhkan pula penyaluran aspirasi
politiknya. Namun, setelah dilakukan liberalisasi dalam bidang ekonomi dan
kini di bidang politik, masih tersisakah faham komunisme di Cina?