[Nasional-m] Harga Diri Tinggal Sisa

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun, 10 Nov 2002 21:34:09 +0100


Media Indonesia
Senin, 11 November 2002

Harga Diri Tinggal Sisa


PEMERINTAH akhirnya sepakat menjual 51% sahamnya di Bank Niaga kepada
konsorsium Malaysia. Kesepakatan itu ditandatangani pekan lalu, dan hari ini
dilaporkan kepada DPR. Menurut rencana, semua pembelian itu akan dibayar
pada 22 November mendatang.

Yang disepakati ialah saham Bank Niaga dijual dengan harga Rp26,5 per
lembar. Ini berarti pemerintah mendapat pemasukan kurang lebih Rp1 triliun.
Harga itu masih di bawah harga yang dipatok DPR, yaitu Rp30 per lembar
saham.

Setelah divestasi Bank Niaga selesai, hari ini juga BPPN melaporkan kepada
DPR rencana menjual 51% saham miliknya di Bank Danamon. Saat ini masih ada
empat calon kuat, yaitu UBS Warburg, Goldman Sach, Danareksa, dan Bahana.

Tetapi, melihat kenyataan divestasi BCA dan Bank Niaga, besar kemungkinan
saham Bank Danamon juga akan jatuh pula ke tangan pemilik asing.

Karena itu, banyak kalangan menilai program divestasi yang dilakukan
pemerintah sekarang samalah dengan menjadikan asing berkuasa atas
perekonomian nasional. Bank swasta nasional yang besar, seperti BCA dan Bank
Niaga, harus berganti predikat menjadi bank swasta asing. Sebab, memang,
kenyataannya mayoritas sahamnya dimiliki pihak asing.

Lebih parah lagi, pemerintah menjualnya dengan harga obral. Padahal, yang
dijual itu bukan bank busuk, tetapi bank yang menguntungkan. Saham BCA,
misalnya, jauh lebih menguntungkan jika tetap dikuasai pemerintah ketimbang
menjualnya kepada pihak asing.

Pemerintah sekarang terkesan memilih jalan gampangan untuk menyelesaikan
buruknya perekonomian, khususnya dari sudut anggaran. Jalan gampangan itu
ialah menjual aset negara, tanpa disertai kemauan keras mendapatkan harga
yang jauh lebih baik. Pemerintah--dalam hal ini BPPN--mudah sekali menyerah.

Padahal dengan melakukan divestasi itu tidak berarti beban obligasi yang
melekat di bank itu terlepas dari pundak pemerintah. Semua obligasi masih
menjadi beban negara, sekalipun mayoritas pemilikan bank itu telah berpindah
tangan ke pihak asing. Itulah sebabnya, Kwik Kian Gie menentang keras
divestasi sebagai sebuah solusi, karena hal itu hanya akan menjerumuskan
negara.

Tetapi, Kwik adalah petinggi kabinet yang berteriak di gurun pasir.
Berteriak tanpa didengarkan, sekalipun yang menjadi presiden adalah Megawati
Soekarnoputri, yang adalah ketua partainya sendiri, PDI Perjuangan.

Partai boleh sama, tetapi aspirasi dan solusi persoalan berbeda-beda, yang
menunjukkan tidak adanya platform yang sama.

Apa pun, kecenderungan menjual aset negara kepada pihak asing seharusnya
mendapatkan kontrol yang ketat dari DPR. Peranan pengawasan ini perlu
diingatkan kembali karena DPR tidak bersih dari pengaruh uang. Adalah fakta
bahwa amplop US$1.000 yang menjadi heboh tempo hari berkaitan dengan upaya
BPPN melicinkan jalan divestasi Bank Niaga. Kasus itu menguap begitu saja
dan sekarang tiba-tiba publik dikagetkan bahwa BPPN telah menandatangani
jual beli saham Bank Niaga dengan penawar tunggal Commerce Asset Holding
Berhard (Malaysia).

Menjual aset negara tentu saja bukan semata urusan teknis ekonomis. Ia bukan
sekadar matematika untung dan rugi. Tetapi lebih mendalam lagi, yaitu
menyangkut nasionalisme. Ia menyangkut harga diri sebuah bangsa.

Harga diri yang tinggal sisa karena setelah dililit utang luar negeri,
didikte IMF, sekarang asetnya pun dibeli asing dengan harga obral.

Mohon perhatian soal komentar:

Sekali lagi Redaksi mengingatkan kepada Anda semua, sebaiknya Anda
menggunakan bahasa sopan, tidak kasar, tidak menyinggung soal SARA, dan
jangan emosional. Komentar Anda diharapkan bermanfaat bagi kita semua, dan
beda pendapat justru mempererat kita sebagai satu kesatuan.