[Nasional-m] Menggugat Hubungan Islam dan Demokrasi

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 7 Nov 2002 21:59:56 +0100


Media Indonesia
Jumat, 8 November 2002

Menggugat Hubungan Islam dan Demokrasi
Abd Rohim Ghazali, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UI


DEMOKRASI, jika dikembalikan pada makna generiknya adalah 'demos'= rakyat,
'kratos/kratein'= berkuasa. Artinya, kekuasaan di tangan rakyat. Di sini
jelas bahwa hakikat demokrasi murni pada realitas empirik. Raison
de'etre-nya adalah kekuasaan rakyat dalam sebuah hubungan relasional
antarsesama manusia secara kolektif. Bagaimanakah wujud kekuasaan rakyat
itu? Tidak ada jawaban yang pasti.

Para ilmuwan sosial yang secara intens membahas demokrasi, seperti David
Easton, Robert Dahl, Larry Diamond, Samuel Huntington, dan lain-lain,
umumnya hanya memberi indikator-indikator, seperti adanya kebebasan rakyat
untuk berekspresi (berbicara, berserikat, dan menentukan pilihan termasuk
beragama), adanya equality before the law (perlakuan yang sama di depan
hukum), dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM).

Adakah contoh negara-negara di seluruh dunia yang secara ideal memenuhi
indikator-indikator itu? Jawabannya pasti, tidak ada. Semua negara, termasuk
Amerika belum bisa dikatakan sebagai negara demokrasi ideal, karena Amerika
masih diskriminatif terhadap perempuan, kulit berwarna, bahkan terhadap suku
Indian yang secara faktual dianggap sebagai penduduk asli Amerika (mereka
terpinggirkan di sudut-sudut negara bagian Oklahoma). Di sinilah
relevansinya untuk mengatakan bahwa demokrasi merupakan proses yang entah
sampai kapan bisa tercapai. Capaian demokrasi yang ada sekarang hanyalah
pada tahapan minimalis.

Islam jika dikembalikan pada makna generiknya berarti 'tunduk dan patuh',
'damai', atau 'selamat'. Bagaimana seseorang bisa disebut muslim (berislam)
ada indikatornya. Jumhur ulama (baca: ulama-ulama Sunny) menetapkan ada lima
fondasi (rukun) Islam, yakni bersyahadat (ikrar tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah), salat, puasa, zakat, dan haji. Artinya,
dengan memenuhi kelima rukun Islam itu seseorang bisa disebut muslim.

Tapi perlu dicatat, baik Alquran maupun hadis tidaklah menyebutkan muslim
sebagai posisi yang ideal. Ada sindiran dalam Alquran yang menunjukkan bahwa
banyak orang Mekah pada zaman Rasulullah yang hanya muslim dan belum
beriman. Artinya, atribut kemusliman yang disebutkan dalam kitab suci lebih
cenderung formalistik. Yang lebih substantif adalah iman dan atau takwa yang
indikatornya mencakup segala jenis kebajikan. Adakah orang yang secara ideal
memenuhi kriteria itu? Selain Nabi, saya kira tidak ada.

Bahkan, Nabi sendiri pun tak luput dari kesalahan, cuma saja beliau
senantiasa dikontrol oleh Tuhan (ma'shum). Jadi, kalau Nabi bisa disebut
manusia ideal, hanyalah karena faktor 'x' yang berada di luar jangkauan
dirinya, yakni kehendak Tuhan. Sehingga wajar jika tidak ada muslim ideal
selain Nabi. Yang ada hanyalah muslim minimalis. Kalau secara individual
minimalis, bisa dipastikan secara kolektif (negara muslim) juga akan
minimalis, karena negara pada hakikatnya merupakan sekumpulan rakyat
(sejumlah individu).

Adakah kaitan antara keduanya?

Kembali pada pertanyaan, adakah kaitan antara Islam dan demokrasi? Dari
uraian di atas kiranya jelas, baik demokrasi maupun Islam secara ideal hanya
ada dalam alam ide (alam khayal?). Idealisme demokrasi berada dalam tataran
konseptual dan idealisme Islam berada dalam tataran doktrinal. Aktualisasi
dari keduanya hingga saat ini barulah sampai pada tahapan minimalis. Tapi,
meskipun sama-sama minimalis bukan berarti terdapat kaitan antara Islam dan
demokrasi. Menurut saya, antara keduanya berbeda secara substansial.

Indikatornya bisa dilihat dari tiga landasan filsafat ilmu. Pertama, secara
ontologis Islam memiliki kebenaran intrinsik, yakni benar secara hakikat.
Kebenaran Islam tidak selamanya harus dibuktikan dengan data empiris.
Sedangkan kebenaran demokrasi bersifat ekstrinsik, artinya harus dibuktikan
secara empirik. Sedangkan Islam, meskipun tidak bisa dibuktikan secara
empirik, ia tetap menjadi sistem yang ideal.

Kedua, secara epistemologis, demokrasi lahir dari kebutuhan segenap manusia
untuk 'hidup bersama' secara damai. Frase 'hidup bersama' sengaja diberi
tanda petik untuk menegaskan bahwa demokrasi tak ada kaitannya dengan
sesuatu yang transenden. Artinya, sekali lagi, demokrasi itu murni empiris
sehingga legitimasi kebenarannya pun semata-mata pada kuantitas, punya
indikator yang bisa diukur secara tegas dan pertanggungjawabannya juga
terbatas pada sesama manusia.

Sedangkan Islam merupakan doktrin yang berasal dari Tuhan, yang di samping
untuk mengatur kehidupan bersama (empiris) juga mengatur hubungan antara
manusia dan Tuhan (transenden). Karena menyangkut pula kehidupan yang
transenden maka ukuran keislaman, selain secara kuantitas (dengan ukuran
rukun Islam) juga secara kualitas (dengan ukuran rukun iman yang abstrak).
Pertanggungjawaban Islam, selain pada kehidupan bersama juga kepada Tuhan.

Secara aksiologis, demokrasi semata-mata ditujukan untuk mencapai ketertiban
dalam kebersamaan yang belum tentu sampai pada ruang batin manusia
(kedamaian batin/jiwa). Sedangkan Islam ditujukan untuk kedamaian dan
kebahagiaan manusia lahir batin.

Antara berlian dan tembaga

Jadi, jika ditinjau dari tiga landasan filsafat ilmu tadi (ontologi,
epistemologi, dan aksiologi), tampaknya tak ada kaitan antara Islam dan
demokrasi. Kalau begitu, lantas untuk apa mengait-ngaitkan Islam dan
demokrasi? Bagi pihak Barat gunanya untuk mengampanyekan demokrasi sebagai
sistem yang paling baik seraya mendiskreditkan sistem lain, terutama Islam.
Sedangkan bagi umat Islam, sebagai upaya untuk meng-counter kampanye Barat
itu, tapi sayangnya selalu gagal membuktikannya secara empiris sehingga yang
ada hanya klaim omong kosong.

Antara Islam dan demokrasi, sekali lagi, berbeda secara substansial. Tidak
relevan untuk dikait-kaitkan. Kalaupun dipaksa mengaitkannya, kerugian pasti
berada pada pihak Islam. Ibaratnya, menukar berlian dengan tembaga. Yang
punya berlianlah yang merugi. Sayangnya, berlian itu senantiasa berada di
tangan Yang Maha Sempurna, dan manusia hanya menerima cahaya terangnya.
Disebabkan langit mendung, atau bahkan karena pakaian gelap saja, manusia
luput dari cahaya terang itu. Sedangkan tembaga, meskipun tak seindah
berlian, asal diolah secara benar, pasti bermanfaat bagi manusia, karena
tembaga itu ada di tangan manusia.

Menurut saya, di sinilah letak signifikansi sabda Rasulullah saw: 'Antum
a'lamu biumuri dunyakum (Anda semua lebih mengetahui [apa yang lebih baik]
bagi urusan dunia Anda!). Mau pilih mana: Islam, demokrasi, atau dua-duanya?
Terserah Anda. Wallahu 'alam bishshawab!