[Nasional-m] Kesia-siaan Mimpi Negara Teokrasi

admin nasional-m@polarhome.com
Sat, 14 Dec 2002 00:50:47 +0100


Kesia-siaan Mimpi Negara Teokrasi

Oleh Victor Silaen

Mimpi merupakan sesuatu yang teramat penting dimiliki oleh setiap orang, baik
secara individual maupun kolektif, di dalam kehidupan ini. Dengan adanya mimpi,
yang dalam konteks ini disamakan dengan cita-cita atau visi, niscaya seseorang
atau sekelompok orang menjadi lebih terencana, terarah, dan bersemangat dalam
menjalani kehidupannya. Sebab, ada sesuatu yang teramat penting yang hendak
dicapai atau diwujudkannya kelak. Tak heran, kalau bagi orang atau kelompok orang
yang bermimpi itu, energi untuk berjuang seolah tak pernah habis meski telah kerap
menghadapi rintangan.

Sekaitan itu, Amerika Serikat (AS) adalah contoh bangsa di dunia ini yang telah
menyadari betul arti dan pentingnya sebuah mimpi. Sampai-sampai, pada Olimpiade
1996 di Atlanta, AS menetapkan lagu "The Power of Dream" sebagai theme song pesta
akbar olahraga sedunia itu. Padahal, untaian kata dalam lagu itu sebenarnya tak
mengetengahkan hal-hal yang berkait langsung dengan olahraga. Cermati saja petikan
syairnya berikut ini: /The world unites in hope and peace/ Pray that it always
will be/ It is the power the dream that bring us here/.
Bandingkan, misalnya, dengan Kejuaraan Sepakbola Dunia di Italia tahun 1990, yang
menjadikan lagu "To Be Number One" sebagai theme song-nya.
Tapi, itulah uniknya AS sebagai bangsa pemimpi. Bahkan sejak dulu, sebelum
terbentuk menjadi bangsa baru pada 1776, mimpi menjadi teladan bagi bangsa-bangsa
di dunia telah tertanam di dalam diri the founding fathers mereka. Hal ini
tercermin, misalnya, dalam sebuah keyakinan kukuh yang dibawa oleh kaum Puritan
asal Inggris ke benua baru tersebut pada awal abad ke-17. Mereka merasa diri
sebagai umat pilihan Tuhan (God's chosen people) yang dipanggil untuk mendiami
sebuah tanah impian yang telah dijanjikan Tuhan (God's promised land). Karena
itulah, dengan semangat membara mereka datang ke Amerika membawa sebuah misi ilahi
(divine mission) untuk mendirikan "sebuah kota di atas bukit" yang akan menerangi
kegelapan hidup bangsa-bangsa lain. "We shall be as a City Upon a Hill, the eyes
of all people are upon us," demikian inti khotbah John Winthrop, salah seorang
pemimpin kaum Puritan yang kemudian menjadi gubernur pertama di Massachusetts
(Bercovitch, 1978).

Selanjutnya, wilayah Amerika pun dipandang sebagai negeri harapan oleh gelombang
demi gelombang imigran baru (umumnya dari Eropa). Harapan mereka, antara lain,
adalah mewujudkan kebebasan beragama dan mencari kehidupan yang lebih sejahtera.
Memang, pada mulanya Amerika tak mampu memuaskan harapan itu, karena kenyataannya
wilayah baru ini masih merupakan hutan-rimba yang liar dan ganas. Namun, dalam
jangka waktu yang relatif singkat, kaum pendatang itu berhasil mengubah wajah
suram Amerika menjadi sebuah negeri yang indah dan subur. Etika kerja Puritan (the
Puritan Ethic atau kelak disebut the Protestant Ethic) yang mereka hayati dalam
upaya menaklukkan dan menguasai the wilderness itu kelak memberikan dasar bagi
tumbuhnya kemandirian dan optimisme yang besar di dalam kehidupan mereka (Ziff,
1974).

Tapi, di awal kehidupan mereka itu, sebenarnya ada sebuah mimpi yang gagal total
untuk diwujudkan. Yakni, hasrat membangun negara teokrasi di tengah masyarakat
yang kian lama kian majemuk. Kristokrasi versi Puritanisme yang hendak dipaksakan
itu justru menjadi pangkal penyebab perpecahan di antara mereka sendiri. Hal itu
sebenarnya mudah dipahami. Sebab, kelompok demi kelompok imigran baru sesudah kaum
Puritan asal Inggris itu justru datang ke Amerika untuk mencari kebebasan. Jadi,
bagaimana mungkin keseragaman suatu agama (baik ajaran, syariat, dan lainnya)
hendak dipaksakan kepada mereka?

Singkat kata, menyadari kemustahilan mimpi tersebut, kaum Puritan pun segera
berubah pikiran dengan menerima keanekaragaman sebagai hal yang niscaya di dalam
kehidupan mereka. Itulah yang menjadi dasar kuat bagi berkembangnya Amerika kelak
sebagai negara-bangsa demokratis pertama di dunia. Ketika negara-negara lain saat
itu masih berbentuk kerajaan yang feodalistik, Amerika sudah berbentuk republik
yang deklarasi kemerdekaannya menyebutkan dengan jelas perihal "kontrak sosial"
antara rakyat dan pemerintahnya.

Ketika negara-negara lain saat itu masih menyatukan pengelolaan urusan gereja dan
pemerintahan, Amerika sudah memisahkannya sebagai dua institusi yang masing-masing
setara. Ditambah pencantuman ketiga hak asasi mendasar (hak atas kehidupan, hak
untuk mengejar kebahagiaan, dan hak atas kebebasan beragama) dan pengakuan atas
kesetaraan semua orang di dalam deklarasi kemerdekaan mereka, maka jadilah Amerika
sebagai kampiun demokrasi di dunia ini. Karena, merekalah yang pertama menjadi
negara-bangsa yang demokratis. Itulah alasannya, dan bukan karena demokrasi mereka
yang paling baik dan sempurna.

Meskipun sebuah mimpi penting telah gagal total, tapi bagi AS, hidup harus terus
bermimpi. Dan dalam kenyataannya, mereka memang berhasil menjadi negara-bangsa
yang besar dan makmur, yang seiring waktu makin luas wilayahnya dan makin banyak
penduduknya. Hal inilah kelak yang menumbuhkan perasaan supremasi, sebagai bangsa
unggul di antara bangsa-bangsa lainnya. Dikarenakan hal itulah, maka misi ilahi
yang sejak awal telah tertanam di dalam diri mereka terus bertahan dari waktu ke
waktu, meski esensinya yang semula religius (Kristokrasi) telah berubah menjadi
sekuler (demokrasi). Kelak, di bawah kepemimpinan Woodrow Wilson (1913-1921), AS
mengungkapkan mimpi besarnya untuk menjadikan seluruh dunia ini "save for
democracy" (Green, 1970).

Lalu, apa yang dapat disimpulkan dari pengalaman AS itu? Mimpi mendirikan negara
teokrasi di tengah masyarakat yang majemuk agaknya merupakan sesuatu yang teramat
sulit diwujudkan. Mimpi itu sendiri sebenarnya sah-sah saja. Tapi, ia niscaya
mengundang banyak penolakan disebabkan adanya kemajemukan itu. Jikapun dipaksakan,
maka sebagai konsekuensi logisnya, penolakan itu akan berkembang menjadi
perlawanan.
Pengalaman yang hampir sama pernah terjadi di Indonesia, di masa revolusi melawan
penjajah Belanda. Adalah Kartosuwirjo, yang selama 13 tahun berjuang untuk
mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) demi terciptanya Darul Islam (DI)-sebuah
dunia baru masyarakat Islam, di mana kaum muslimin dan muslimat dapat menjalankan
hukum Islam secara menyeluruh.

Mulanya, Sekretaris Umum Partai Sarekat Islam Hindia Timoer di Batavia ini ingin
mendirikan NII secara legal, baik dengan persetujuan pemerintah di Yogyakarta
ataupun karena kejatuhan Pemerintah RI (Dengel, 1995). Karena itulah, pada 1948,
ia meminta agar Panglima Sudirman mengangkatnya menjadi "panglima" atas rakyat dan
semua jajaran TNI di Jawa Barat. Selain itu, ia juga meminta sebuah daerah
percobaan untuk Negara Islam yang akan didirikannya. Tapi, Sudirman menolaknya.


Pada 10 Februari 1948, 160 wakil organisasi Islam berkumpul di Cisayong, Jawa
Barat, untuk mengadakan konferensi. Saat itu Kartosuwirjo hadir sebagai wakil
Pengurus Besar Masjumi untuk Jawa Barat. Dalam konferensi tersebut, Masjumi dan
semua cabang organisasinya diubah menjadi Madjlis Islam Pusat (MIP), yang dipimpin
Kartosuwirjo sebagai Imam, dan yang merupakan sebuah pemerintahan Islam di daerah
tersebut.
Keputusan penting lainnya adalah pembentukan Tentara Islam Indonesia (TII) yang
telah lama direncanakan, sebagai gabungan Sabilillah, Hizbullah, dan organisasi
Islam lainnya.

Namun, Kartosuwirjo tak memberitahukan teman-temannya di Yogyakarta tentang
perubahan MIP menjadi Dewan Imamah yang dipimpinnya itu. Bahkan, pada 6 Juli 1948,
ia mengirim pesan rahasia kepada Kamran (komandan teritorial Sabilillah) atas nama
Pemerintah Negara Islam Indonesia (PNII) yang ditandatanganinya sendiri sebagai
Imam.


Pada 25 Agustus 1948, keluarlah maklumat pertama PNII yang memerintahkan
mobilisasi dan militerisasi total dari rakyat. Dua hari kemudian, selesailah
penyusunan Kanun Azasi sebagai konstitusi NII. Dalam maklumat berikutnya,
Kartosuwirjo menyatakan tak mungkin lagi dapat menyelesaikan masalah dengan
Belanda secara damai. Karena itu, rakyat harus disiapkan untuk menghadapi perang
total. Ketika pecah Agresi Militer yang menyebabkan tertangkapnya Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Hatta oleh Belanda, Kartosuwirjo segera
mempermaklumkan "perang suci semesta" demi dapat mendirikan NII. Ia menyerukan
pentingnya satu kesatuan komando untuk menghindarkan politik devide et impera di
masa mendatang. Ia juga menyatakan kesanggupannya memegang kesatuan komando itu
sebagai pimpinan NII. Ia berharap NII akhirnya dapat dilegalisir tanpa perlu
proklamasi. 
Itulah awal bagi terjadinya kerusuhan panjang yang melibatkan DI/TII, rakyat, dan
TNI, yang kelak mengakibatkan kerugian besar dan kerusakan berat dalam pembangunan
daerah Jawa Barat. Menurut laporan resmi, jumlah korban yang terbunuh, luka parah,
dan terculik mencapai 22.895 jiwa. Sedangkan jumlah kerugian materiil saat itu
diperkirakan 650 juta rupiah.


Selanjutnya, pertengahan 1960, dimulailah penumpasan dan pengisolasian gerakan
DI/TII di Kabupaten Lebak (termasuk Korem Banten) melalui pelaksanaan konsep
Perang Wilayah yang dipimpin Pangdam Siliwangi Ibrahim Adjie. Dalam keadaan
terdesak, pada 11 Juni 1961, pihak DI mengeluarkan Perintah Perang Semesta. Banyak
yang menyerah, tak sedikit pula yang mati. Namun, Kartosuwirjo tetap bertahan.
Meski sakit parah, ia masih sempat memerintahkan membunuh Presiden Soekarno ketika
sedang mengikuti salat Idul Adha di halaman Istana Negara, tahun 1962.
Akhirnya, Kartosuwirjo tertangkap. Di depan Sidang Mahkamah Angkatan Darat, 16
Agustus 1962, ia dituntut hukuman mati karena didakwa bersalah atas kegiatan makar
untuk merobohkan Negara RI dan dan makar untuk membunuh Kepala Negara. Pada 5
September 1962, Kartosuwirjo menemui ajalnya di hadapan regu penembak dari
keempat angkatan.


Holk H. Dengel, penulis Darul Islam dan Kartosuwirjo, Angan-angan yang Gagal
(1995), menyimpulkan bahwa di satu sisi sebenarnya Islam berhasil menjadi kekuatan
nasional.
Namun, di sisi lain, ia gagal menjadi simbol politik dan faktor pemersatu rakyat
Indonesia.
Kalaupun DI/TII mampu bertahan selama 13 tahun, hal itu dikarenakan ketaatan dan
kesetiaan (dengan sumpah) para anggota gerakan terhadap Kartosuwirjo sebagai Imam
dan Panglima Tertinggi.
Uraian tentang kegagalan pengalaman dua kelompok religius untuk mendirikan negara
teokrasi itu menjadi landasan penulis untuk menyimpulkan bahwa mimpi negara
teokrasi di tengah masyarakat majemuk merupakan kesia-siaan belaka. Apalagi dewasa
ini, di tengah kehidupan modern yang kian kompleks dan mengedepankan
individualitas. Jadi, baik mimpi membangun Negara Islam Nusantara (yang mencakup
sebagian besar wilayah Asia Tenggara bahkan sampai selatan Australia) maupun
Negara Kristen Raya (kalau benar mimpi ini ada, seperti disebut Fauzan Al-Anshari,
Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahiddin, dalam artikelnya di Kompas
9-11-2002) yang meliputi Singapura, Taiwan, Hongkong, Macao,
Sabah-Serawak-Perlis-Penang-Selangor-Perak, Maluku, Timor Timur, dan Sulawesi
Utara, selayaknya dipikir ulang beribu kali oleh kedua kelompok yang bersangkutan.

Penulis adalah dosen Fisipol UKI, Jakarta.