[Nasional-m] Likuidasi KPKPN dan Demokrasi Korupsi

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue, 10 Dec 2002 21:11:56 +0100


Suara Merdeka
Rabu, 11 Desember 2002  Karangan Khas


Likuidasi KPKPN dan Demokrasi Korupsi
Oleh: Joko J Prihatmoko

ADA setumpuk argumentasi untuk mengajukan hipotesa bahwa DPR dan pemerintah
kurang memiliki komitmen terhadap pemberantasan KKN. Sikap itu tercermin
dari disetujuinya RUU Komisi Pemberantasan Korupsi, di mana salah satu draf
terpenting DPR dan pemerintah akan membubarkan Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara (KPKPN) kemudian memasukkan fungsi KPKPN ke dalam
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KP-TPK).

DPR dan pemerintah memang memiliki otoritas melikuidasi KPKPN, tetapi
keputusan tersebut menimbulkan tanda tanya besar di saat KPKPN mulai
menemukan ritme kerja mengerem KKN. Pertanyaannya, mengapa KPKPN harus
dilikuidasi? Merupakan keniscayaan bahwa elite politik resisten terhadap
gerakan anti-KKN. Mereka tidak pernah membentuk Komite Anti-Korupsi (KAK),
sejak UU No 31/1999 diundangkan. Kelahiran KPKPN juga diwarnai tarik ulur
yang alot.

Selama hampir tiga tahun, KPKPN telah menjalankan fungsi sebagai lembaga
pencegahan korupsi dengan cara memeriksa kekayaan penyelenggara negara. Cara
kerja ini memang tak fokus dan langkah-langkahnya sering bermuatan politik.
Namun harus diakui jika KPKPN telah berbuat sesuatu untuk mengurangi praktik
KKN. Upaya-upayanya menjadi signifikan karena mandulnya pengawasan politis
DPR dan penegakan hukum kejaksaan dan kepolisian.

Tragisnya, bersama resistensi itu, kalangan elite pimpinan nasional
berlomba-lomba memproduksi skandal. KPKPN berhasil menguaknya. Dari data
itu, kita melihat KPKPN seakan-akan menjadi blunder politik atau bumerang
bagi DPR dan eksekutif. Blunder politik karena KPKPN adalah kapling yang
disediakan oleh DPR dan eksekutif tetapi siap membunuh DPR dan eksekutif
sendiri. Bumerang karena KPKPN dilahirkan oleh DPR dan eksekutif tetapi
mengancam ''privelese''-nya.

Lemah Strategi

Kita perlu mengacu negara lain dalam pemberantasan KKN untuk menguji
hipotesa itu. Strategi pemberantasan membutuhkan 4 prasyarat utama yakni
dukungan rakyat, perundang-undangan, bersihnya peradilan dari mafia, dan
political will elite yang kuat.

Dukungan rakyat terhadap pemberantasan sudah tergolong cukup, baik yang
bersifat moral maupun aksi. Dukungan hukum juga tidak kurang, yang
ditunjukkan dengan UU No 31/1999 tentang KAK, UU No 28/1999 tentang KPKPN,
UU Anti-Monopoli, UU UKM, dan sebagainya. Dengan membandingkan UU di negara
lain, Romli Atmasasmita (2001) berkomentar bahwa UU No 31/1999 termasuk
paling keras di dunia.

Yang tidak kita temukan di Indonesia adalah bersihnya peradilan dari mafia
dan kemauan elite yang kuat. Banyak kasus menggambarkan ketidakbersihan
dunia peradilan kita, mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, dakwaan
sampai vonis.

Posisi KPKPN

Di mana sesungguhnya posisi KPKPN? UU tentang KPKPN merujuk pada Tap MPR No
XI/MPR/1998. KPKPN dinisbatkan menjalankan fungsi pencegahan KKN. KPKPN
terlihat begitu berperan karena tak ada satu pun partai yang memberlakukan
mekanisme kontrol internal bagi kader-kadernya yang menduduki jabatan
publik. Jangankan Partai Golkar dan PDI-P, partai yang mengaku reformis
seperti PAN, PPP, PKB, PRD, PBB enggan mengontrol kekayaan kader-kadernya
yang menjadi pejabat publik. Pada saat bersamaan, DPR dan penegak hukum kita
mandul dalam pemberantasan KKN.

Pada titik itulah, peran yang dimainkan KPKPN terlihat begitu signifikan.
Signifikansi itu menonjol karena pers secara langsung memberikan dukungan.
Sedangkan di Indonesia, tak ada satu pun lembaga yang kredibel memberantas
KKN.

Waktu itu, tak satu partai dan politikus yang kini duduk di DPR mengritisi
keputusan DPR hasil Pemilu 1997 dan pemerintahan Habibie.

Ada dua hal yang harus ditinjau lebih jauh. Pertama, waktu pembentukan UU
Golkar begitu dominan, sekarang likuidasi KPKPN diusulkan Partai Golkar dan
diamini oleh partai lain. Hal itu jelas menimbulkan pertanyaan besar: ada
apa di balik skenario Partai Golkar? Kedua, DPR menilai likuidasi KPKPN
untuk efisiensi. Kita semua setuju dengan efisiensi, tetapi apa
argumentasinya?

Likuidasi menguatkan citra elite politik tidak memiliki komitmen dalam
pemberantasan KKN. Langkah itu berarti kemunduran gerakan pemberantasan
korupsi.

Praktis, likuidasi bukan sekadar persoalan etika, ketidaktahuan dan teknis
semata. Tetapi persoalan yang lebih besar, yakni semacam persekongkolan
elite politik untuk menghindari kejaran, menghapuskan kontrol dan
menghilangkan ''kerikil'' bagi usaha menggerogoti keuangan negara melalui
korupsi demokrasi besar-besaran secara bersama-sama. Likuidasi dalam jangka
pendek akan melahirkan implikasi-implikasi yang memprihatinkan: KKN kian tak
terkontrol. Sedangkan dalam jangka panjang, kita bisa berharap dari KP-TPK
jika diisi oleh orang-orang yang memiliki kapabilitas, kredibilitas, dan
integritas. Tapi rasanya hanya superman yang mampu menjadi anggota KP-TPK.
Bagaimana bisa 5 orang mengurusi penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
pencegahan KKN dan sebagainya, di mana pelaku KKN begitu bejibun?

Saya tidak memiliki argumentasi untuk menolak anggapan dunia bahwa Indonesia
memiliki paling banyak tersangka koruptor tapi paling sedikit yang terjerat
hukum.(33)


- Joko J Prihatmoko, aktivis KP2KKN Jateng dan Ketua LP3M Universitas Wahid
Hasyim Semarang