[Nasional-m] R&D Dan Citra Konglomerat

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon, 2 Dec 2002 01:03:46 +0100


Suara Karya

R&D Dan Citra Konglomerat
Oleh Stevanus Subagijo

Senin, 2 Desember 2002
Keputusan pemerintah untuk memberikan status release and discharge (R&D)
atau pembebasan dari tuntutan dan proses hukum kepada obligor besar yang
telah menyelesaikan kewajiban patut disikapi dengan lebih positif. Paling
tidak, empat konglomerat sudah memperolehnya, yakni Sudwikatmono, Ibrahim
Risjad, The Nin King dan Liem Hendra. Rencananya menyusul pula Soedono
Salim, Sjamsul Nursalim, dan Mohamad "Bob" Hasan.

Sikap positif di atas untuk menjauhi temperamen lama kita yang sangat
negatif terhadap konglomerat, yang justru kontraproduktif bagi pemulihan
ekonomi nasional, khususnya peran konglomerat. Hal ini jauh dari keinginan
membela buta mereka, yang mungkin salah dalam hal utang kepada negara ihwal
BLBI, yang mencuat di tengah krisis ekonomi dan ketidakstabilan politik
pasca Soeharto lengser.

Sikap untuk menentang dan curiga terhadap setiap kebijakan yang terkait
dengan konglomerat hendaknya dihapuskan. Ide untuk membuat miskin
konglomerat yang pernah dilontarkan pejabat pemerintah di waktu lalu, atau
menyeretnya ke hotel prodeo sebaiknya diganti saja dengan rekonsiliasi
ekonomi nasional, memulihkan citra konglomerat dan menuntut "politik balas
budi ekonomi" secara positif kepada mereka atas pembebasan dari tuntutan
hukum.

Hal ini mengingat terlalu banyaknya faktor yang tidak jelas dan tidak kuat
dalam kasus obligor kakap ini. Persoalan kucuran BLBI (Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia) saja masih bisa diperdebatkan, seperti kewajiban Bank
Indonesia (BI) kala itu sebagai lender of the last resort dan rush politik
yang bukan semata hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap bank. Soal
pelanggaran BMPK, bagaimana dengan pelanggaran yang sama pada bank-bank
pemerintah yang menurut pengamat juga banyak terjadi. Belum
keanehan-keanehan dalam kesepakatan, seperti MSAA (Master of Settlement
Acquisition Agreement) dll seperti selisih kekurangan aset ditanggung
pemerintah padahal yang utang konglomerat. Belum lagi kiprah BPPN (Badan
Penyehatan Perbankan Nasional) yang sarat kritik dalam mengelola dan menjual
aset.

Soal siapa yang berhak menandatangani berkas R&D, penafikan peran
konglomerat baik dalam pemulihan ekonomi, penarikan investasi asing,
ekspansi ke luar negeri pun sebagai penyandang dana parpol untuk Pemilu 2004
menjadi saling pengaruh-mempengaruhi. Jika kita terus mempersoalkan
pemberian R&D, kita pasti akan melangkah mundur kepada persoalan-persoalan
sebelumnya. Ibaratnya, ada biji kacang terselip di tenggorokan, sehingga
setiap kita makan ganjalan itu selalu terasa.

Ihwal status hukum bukan hanya siapa yang akan menandatangani R&D, tetapi
seberapa besar kekuatan hukum itu melindungi konglomerat. Tentu penyebutan
melindungi konglomerat di sini bukan dalam arti membela kepentingan
pengusaha besar secara subyektif, tetapi sebatas warganegara yang dilindungi
hukum. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari sifat obligasi yang jumlahnya
sangat besar itu. Yang bisa menciptakan "misi lain" di luar sektor ekonomi.

Kita tahu ihwal BLBI sejak dahulu sangat keras ditentang, didemonstrasi,
diseminarkan, diwacanakan di media massa dan publik. Kecenderungan saat itu
menjadikan kasus ini akses untuk menyeret konglomerat ke meja hijau di
tengah dirinya saat itu kehilangan payung politik karena Soeharto lengser.
Tapi ending yang tampaknya berbentuk R&D kelihatannya happy-happy saja. Ini
berarti bahwa ada "ucapan terima kasih" yang bisa saja kelak diberikan
konglomerat kepada hukum yang telah berlaku adil.

Namun subyektifitas di sini bisa saja dialamatkan kepada pejabat pemerintah
yang ikut berperanan besar dalam memberikan keputusan R&D. Ada "terima
kasih" yang belum diterakan alamat ke mana dan kepada siapa hendak
diberikan. Dan, ini bisa jadi jalan masuk politik uang, kartu as, KKN baru,
bagi penguasa. Apalagi, Pemilu sudah di depan mata.

Tekanan Politis


Bahwa pemberian R&D menimbulkan pro-kontra tentu bukan barang baru. Sejak
kucuran BLBI diberikan, pro-kontrapun sudah ada. Dan, terus bergulir sampai
perjanjian kesepakatan seperti MSAA, MRNIA, APU, pembentukan holding company
di BPPN untuk mengelola aset konglomerat, kontroversi BPPN dari satu ketua
ke ketua berikut dan seterusnya, dan terutama tekanan yang sangat kuat
terhadap konglomerat.

Jelas kasus ekonomi ini memperoleh tekanan politis dan sosial yang sengaja
ditumbuhkan. Bahkan dalam beberapa hal muncul berupa "fobia konglomerasi"
yang sangat menghantui masyarakat. Tidak heran, lahirlah sebutan bagi
kalangan ini konglomerat hitam, lintah ekonomi, pemihakan pemerintah yang
tidak adil dan preseden buruk bagi hukum dan seterusnya.

Mereka tidak mau tahu bahwa bagian terbesar peran konglomerat ialah bukan
menjelaskan kebenaran hukum. Dan, berupaya menjadi dewa keadilan ekonomi.
Mereka mensimplifikasikan utang BLBI yang disetarakan dengan utang kepada
rentenir. Bahkan diidentikkan dengan teroris ekonomi! Tidak ada satu pun
terlontar ucapan atas jasa-jasa konglomerat atas ekonomi negeri ini. Sama
ketika kita tidak bisa melihat jasa Soeharto. Tapi tanpa sadar bahwa di
masyarakat makin banyak orang berbisik, "Lebih enak jaman Soeharto." Sayang,
tidak mungkin waktu diputar kembali. Padahal urusan konglomerat bukan di
situ. Urusan konglomerat ialah dalam bidang ekonomi. Terlepas dari mereka
terjerat oleh kasus BLBI yang berlarut-larut.

Pertanyaannya, apakah memang masalahnya demikian besar atau memang ada
kesengajaan untuk memperlama kasus ini? Menjadikan kasus ini "kuda
tunggangan" yang bisa dimainkan sebagai "kartu turf" penguasa. Tidak heran,
akibatnya kinerja konglomerat tidak seproduktif masa-masa kejayaannya.
Padahal, siapa pun tidak bisa menutup mata akan peran konglomerat dalam
pemulihan ekonomi domestik. Membuka lapangan kerja, mengundang investor
dalam joint venture, ekspansi ke luar karena citranya yang masih dipandang
positif oleh investor asing dan sebagainya.

Sayangnya, ketika kita mendengar konglomerat nasional investasi di Cina,
misalnya, kita seperti kebakaran jenggot. Jika di sini dicerca, begitu
mereka melangkah ke luar, dikatakan tidak mempunyai nasionalisme ekonomi,
dengan alasan di sini masih membutuhkan lapangan kerja baru untuk
menggerakkan sektor riil. Kondisi ini sangat melemahkan sinergi ekonomi,
karena lebih banyak sentimen yang bermain di atas argumen keadilan,
penegakan hukum, moral ekonomi dan seterusnya, yang justru tidak mendukung
capaian ekonomi riil.

Maka dari itulah pemberian R&D sebaiknya dilihat pengaruhnya ke depan secara
positif. Kalau kita hanya melihat kenegatifannya, adanya preseden buruk
terinjak-injaknya hukum dan KKN baru antara penguasa dan pengusaha, kapan
hal ini bisa selesai. Perbaikan tidak bisa sekali jadi terus sempurna,
tetapi mempunyai capaian prestasi yang bisa dimaklumi. Jika kita baru bisa
menegakkan hukum seperempat saja itu lebih baik daripada kita berusaha
menegakkan seratus persen, tapi gagal terus-menerus. Ketidakpuasan selalu
ada, tetapi persentase yang puas bisa ditingkatkan sedikit demi sedikit.

Jangan dibandingkan R&D sebagai unsur yang menguntungkan konglomerat yang
secara berseberangan dihadapkan dengan utang miliaran dan triliunan. Kita
tidak bisa bilang dengan uang sebanyak itu konglomerat enak-enakan.
Konglomerasi tidak mengurusi satu atau dua perusahaan kelontong. Tetapi
berpuluh, bahkan beratus perusahaan. Jumlah utang yang sebesar itu adalah
wajar jika dibandingkan dengan sekian divisi bisnis dan sekian banyak risiko
yang harus mereka tanggung. Tidak ada bisnis tanpa risiko, tapi kita
menihilkan risiko bisnis konglomerat dan hanya mudah melihat hal-hal yang
enak saja.

Untuk itulah yang diperlukan adalah rambu-rambu ekonomi baru. Penegakan
hukum ekonomi harus melihat ke depan dan bukan berkutat pada menghukum kasus
masa lalu yang sistemnya memang sudah rusak. Tidak mungkin kasus mencuat
tanpa sistem yang mendukung ke arah itu. Untuk itulah sistem kekuasaan dan
birokrasi harus bisa menjaga jarak dengan pengusaha. Dan, pengusaha harus
berani menolak upeti kepada penguasa untuk menjadi kroninya. Peran yudikatif
sangat kuat untuk menjadi wasit dalam hubungan antarkekuatan politik dan
ekonomi ini.

Babak baru pasca R&D bisa menjadi era konglomeratnomics baru pula. Di mana
konglomerasi baru dalam berekonomi bisa disusun bersama pelaku ekonomi lain,
seperti UKM dan Koperasi secara adil dan sinergis. Sudah waktunya kita
menutup citra buruk pelaku ekonomi konglomerat yang rakus atau UKM/Koperasi
yang lemah dengan peran pemerintah sebagai pembuat landasan ekonomi, yang
bisa langsung dirasakan dalam memulihkan negeri ini. Dan bukannya seperti
sekarang ini, problem ekonomi didebatgunjingkan secara politis, tapi
pekerjaan riil ekonomi terbengkalai entah ke mana, karena diparisiti oleh
ideal-ideal hukum, politik, moral sampai sentimen pribadi dan seterusnya.
Tanpa kita mau tahu, bahwa realitanya memang belum sampai ke sana. Jadi yang
mungkin dan wajar saja, asal menunjukkan peningkatan, itu sudah lebih baik,
sudah proses pemulihan. ***
(Penulis adalah peneliti pada Center for National Urgency Studies Jakarta).