[Nasional-m] Uang Terima Kasih, Hibah, Suap-Menyuap Dan Korupsi

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed Aug 28 02:24:24 2002


Suara Karya

Uang Terima Kasih, Hibah, Suap-Menyuap Dan Korupsi
Oleh M Khoidin

Selasa, 27 Agustus 2002
Tiga orang anggota majelis hakim yang memeriksa kasus Asuransi Jiwa Manulife
Indonesia (AJMI) tengah diadili oleh Majelis Kehormatan IKAHI berkaitan
dengan terjadinya suap menyuap. Ketiganya diduga menerima suap sehingga
berani mempailitkan PT AJMI yang menimbulkan kontroversi di dunia hukum.
Putusan pailit tersebut sempat merenggangkan hubungan antara Pemerintah
Indonesia dan Kanada.
Ketika diperiksa Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), salah
seorang anggota hakim majelis kasus AJMI, Hasan Basri sempat mengakui bahwa
10 persen dari harta kekayaannya yang bernilai lebih dari 1 miliar berasal
dari uang ucapan terima kasih (meski kemudian diralat). Sedang seorang hakim
lainnya diduga memberikan keterangan tidak benar kepada KPKPN, karena antara
jumlah harta yang dilaporkan dengan harta riil tidak sama.
KPKPN menduga telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh hakim yang
memeriksa AJMI dengan motivasi uang. Saat ini ketiga hakim kasus AJMI
tersebut diberhentikan sementara oleh Presiden. Tidak tertutup kemungkinan
mereka diadili secara pidana dengan tuduhan korupsi. Apabila kelak terbukti
ketiga hakim itu menerima suap, baik saat mengadili perkara AJMI atau selama
menjalani profesi hakim, maka mereka dapat dijatuhi pidana, termasuk
pemecatan dan penyitaan harta kekayaan.
Dalam kehidupan sehari-hari, memberikan sesuatu kepada orang lain (sahabat
atau saudara) adalah hal biasa. Pemberian kepada orang lain biasanya
dibingkai dalam lembaga yang namanya hibah atau hadiah. Hadiah adalah
pemberian kepada seseorang yang telah berjasa. Hadiah juga dapat diberikan
sebagai penghargaan atas karya atau prestasi seseorang. Di samping hadiah
juga ada pemberian ucapan terima kasih kepada seseorang telah berjasa.
Sedang hibah adalah pemberian secara cuma-cuma kepada orang lain tanpa
mengharapkan prestasi atau balasan dari pihak yang diberi hibah. Hibah dapat
dilakukan oleh siapa kepada siapa saja. Umumnya hibah diberikan oleh orang
yang ada hubungan darah atau kekerabatan. Dalam hukum waris terdapat
pembatasan bahwa hibah tidak boleh melanggar hak mutlak (legitieme portie)
yang dimiliki oleh ahli waris dalam garis keturunan.
Apabila hibah melanggar hak mutlak ahli waris, maka dilakukan pemotongan
(inkorting) sampai batas yang dimiliki ahli waris tersebut. Pada awalnya
hibah merupakan perbuatan hukum yang legal dan dapat dilakukan oleh siapa
saja. Namun dalam praktik belakangan ini hibah sering dijadikan alat untuk
menyelundupi hukum, yakni menyamarkan suatu perbuatan ilegal.
Hibah, hadiah atau uang terima kasih kepada orang yang memegang jabatan,
apalagi jika dalam jumlah banyak, akan menimbulkan kecurigaan. Pemberian
tidak wajar kepada pejabat akan menimbulkan pertanyaan apakah murni
dilandasi keikhlasan atau ada udang di balik batu. Apalagi jika antara
pemberi dan penerima hibah terdapat kepentingan bisnis atau pekerjaan.
Pemberian kepada pejabat juga sering dibungkus dengan kata hadiah atau uang
terima kasih. Sebagai hadiah atas kemudahan dalam mengurus sesuatu atau
telah diberi fasilitas, seseorang memberikan uang tanda terima kasih.
Pemberian dapat dilakukan pada saat urusan sedang dtangani atau setelah
urusan beres. Apabila pemberian itu dalam jumlah tidak wajar, maka patut
dicurigai sebagai pelanggaran hukum.
Dalam perspektif hukum pidana, pemberian kepada pejabat negara atau PNS,
termasuk aparat penegak hukum, yang dilakukan dengan cara melalaikan tugas
dan kewajibannya dikualifikasikan sebagai tindak pidana suap-menyuap.
Suap-menyuap tidak harus berupa pemberian dalam bentuk uang atau barang,
tetapi juga dapat berupa janji atau menyediakan kesenangan kepada pejabat
tersebut.
Misalnya, menyediakan fasilitas untuk berpelesir kepada pejabat dan
keluarganya yang telah memberikan kemudahan. Bahkan menyediakan wanita
penghibur lengkap dengan fasilitas hotel kepada pejabat agar sesuatu urusan
berjalan lancar, juga merupakan suap-menyuap. Di Surabaya pernah beredar
rumor penyediaan wanita penghibur di hotel kepada jaksa dan hakim agar
urusan peradilan berjalan lancar.
Beberapa waktu lalu ramai dibicarakan hibah yang sering diterima pejabat
atau mantan pejabat Orde Baru. Seperti kita ketahui, para pejabat Orde Baru
terkenal gemar KKN. Modus operandi KKN itu salah satunya adalah melalui
pemberian hibah, hadiah, ucapan terima kasih atau apapun namanya. Yang
jelas, maksud dari pemberian itu adalah untuk memperoleh fasilitas atau
kemudahan.
Maraknya KKN oleh para pejabat dan PNS jelas merugikan negara dan rakyat.
Tidak hanya itu pejabat daerah dan anggota DPRD juga tidak luput dari
perilaku KKN, baik secara halus maupun terang-terangan. Meski mereka
menggembar-gemborkan diri sebagai wakil rakyat, namun perilakunya jauh dari
mengutamakan rakyat. Kebanyakan dari mereka mengutamakan diri dan
keluarganya dibanding kepentingan rakyat.
Upaya Menteri Kehakiman dan HAM menyerahkan dugaan suap yang diterima
mejelis hakim kasus AJMI patut disambut gembira. Hasil pemeriksaan KPKPN
menemukan adanya dindikasi tidak wajar dari harta yang dimiliki para hakim
kasus AJMI. Aparat yang berwajib wajib memeriksa harta tidak wajar yang
dimiliki para hakim kasus AJMI, karena dicurigai berasal dari suap atau
penyalahgunaan kekuasaan semasa mereka menjadi hakim.
Kecurigaan itu beralasan karena saat ini Pemerintah telah menabuh genderang
perang terhadap KKN di semua lini kehidupan. Pemberantasan KKN tidak boleh
hanya menyentuh para birokrat dan pejabat negara, tetapi juga aparat penegak
hukum. Selama ini masyarakat apriori terhadap aparat penegak hukum karena
dinilai sering memperjualbelikan hukum dan keadilan.Masyarakat perlu
bersikap alert terhadap segala bentuk KKN yang terjadi, termasuk yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum, apapun bentuknya.
Euforia pemberantasan KKN itu menjadikan setiap orang curiga terhadap
kekayaan mantan pejabat dan pengusaha semasa Orde Baru yang menyalahgunakan
fasilitas negara. Apabila ditinjau dari hukum perdata, hibah adalah
perjanjian dengan mana seseorang (penghibah) menyerahkan sesuatu barang
secara cuma-cuma tanpa dapat ditarik kembali, kepada dan untuk kepentingan
penerima hibah (Pasal 1666 KUH Perdata).
KUH Perdata tidak mempersoalkan asal muasal barang yang dihibahkan kepada
seseorang. Apabila barang yang dihibahkan kepada seseorang adalah milik
orang lain atau berasal dari kejahatan, maka perjanjian hibah tetap berlaku
sah. Namun pemilik barang tetap dapat melakukan tuntutan pengembalian
(revindikasi) dari tangan penerima hibah.
KUH Perdata hanya menentukan pembatasan dalam hibah. Hibah tidak boleh
dilakukan antara suami isteri. Apabila hibah diberikan oleh orang tua kepada
salah seorang anaknya atau orang lain, maka tidak boleh merugikan hak mutlak
(legitieme portie) dari ahli waris lainnya. Karena itu hibah harus diketahui
para ahli waris pemberi hibah.
Dalam perpektif hukum pidana seseorang harus hati-hati menerima suatu
pemberian. Apabila pemberian itu berasal dari kejahatan, maka pihak penerima
dapat dikenai pasal bersekongkol dalam kejahatan atau penadahan (Pasal 480
KUHP).
Suatu barang yang berasal dari kejahatan dibedakan dalam dua hal, yaitu
"didapat" dari kejahatan, seperti mencuri, merampok, penggelapan, pemerasan,
korupsi, dll. Di samping itu terdapat barang yang diperoleh dari suatu
tindak kejahatan, seperti pemalsuan uang atau barang. Sifat haram pada
barang yang pertama adalah sementara, sedang pada barang yang kedua bersifat
abadi.
Artinya jika seseorang memperoleh barang hasil kejahatan yang sebelumnya
oleh pelaku telah diserahkan kepada orang lain yang beritikad baik, misalnya
digadaikan, maka sifat barang haram itu menjadi hapus meski pembelinya
mengetahui barang itu dari kejahatan. Sebaliknya, terhadap uang atau barang
palsu, maka siapapun pembelinya dan kapanpun transaksi dilakukan, semua
pelakunya dapat dikenai pidana.
Karena sifat haram atas barang yang "didapat" dari kejahatan tidak kekal,
maka banyak pelaku kejahatan memutihkan barang haram yang diperolehnya.
Praktik money loundering (pencucian uang haram) dengan memasukkan ke bank
atau diinvestasikan ke suatu perusahan, merupakan upaya menghapuskan sifat
haram terhadap barang yang berasal dari kejahatan.
Pencucian uang hasil KKN juga sering dilakukan dengan mengalihkan kepada
pihak ketiga, salah satunya dihibahkan kepada kerabat atau orang lain.
Apabila hibah atas barang hasil KKN itu oleh penerima hibah kemudian
dialihkan lagi kepada orang lain, melalui hibah atau jual beli, maka sifat
haram atas barang hasil kejahatan tersebut menjadi hilang. Penerima barang
hasil kejahatan pada beberapa tingkat berikutnya terhindar dari jerat hukum.
Modus operandi KKN yang sering dilakukan pejabat atau aparat penegak hukum
salah satunya adalah dengan membuka rekening atas nama orang lain (keluarga
atau kerabat) sebagai pundi-pundi. Setelah rekening itu penuh dan saat Sang
pejabat tidak lagi berkuasa, maka dana yang terkumpul kemudian dialihkan
kepada yang bersangkutan dengan dalih hibah atau warisan. Model seperti ini
merupakan suatu penyelundupan hukum atau pencucian uang hasil KKN.
Dalam dunia perbankan yang semakin canggih, seorang pejabat dapat membuka
rekening fiktif untuk menampung dana KKN. Melalui praktik demikian maka
sulit dibuktikan Sang Pejabat telah melakukan KKN. Apabila KKN dilakukan
dengan memberikan barang mewah (mobil atau perhiasan) dapat saja diterimakan
kepada orang dekatnya. Setelah tidak menjabat, barang tersebut dialihkan
kepada yang bersangkutan dengan alas hak hibah atau hadiah.
Menghadapi praktik pencucian barang hasil KKN dengan berbagai modus operandi
tersebut, maka aparat hukum harus jeli untuk melihatnya. Kita tidak boleh
hanya melihat bahwa perolehan barang oleh seorang pejabat atau mantan
pejabat (termasuk hakim) dilakukan secara halal, hibah misalnya, namun harus
ditelusuri lebih jauh di balik proses pengalihan itu.
Menurut ketentuan dalam Syariat Islam, apabila seorang pejabat atau hakim
menerima pemberian dari seseorang atau memperoleh penghasilan di luar gaji
dan fasilitas yang telah diterima dari negara, maka dikualifikasikan sebagai
perbuatan suap-menyuap. Pihak penyuap dan penerima suap keduanya sama-sama
berdosa dan akan dimasukkan ke dalam neraka.
Dalam UU Korupsi yang baru (UU No. 20/2001) telah diadakan revisi terhadap
hibah, hadiah atau uang terima kasih yang boleh diterima pejabat. Menurut
Pasal 12.A Anti Korupsi baru tersebut, hadiah atau hibah yang diterima
pejabat, PNS atau aparat hukum lebih dari Rp. 10 juta dikualifikasikan
sebagai suap-menyuap, kecuali jika dapat membuktikan bahwa hadiah atau
pemberian itu sah dan halal.
(M Khoidin, dosen Pascasarjana Universitas Jember).