[Nasional-m] Mendobrak Kebekuan Ekonomi

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Aug 26 00:00:48 2002


Kompas
Senin, 26 Agustus 2002

Analisis Ekonomi Faisal Basri
Mendobrak Kebekuan Ekonomi

js faisal basri
'' Kalau buah-buahan dan sayuran, sikat gigi, perkakas, tekstil dan pakaian
jadi, kayu lapis, makanan dan minuman ringan impor yang merajai pasar kita,
sepantasnya kita semua prihatin."
PEMERINTAH menargetkan pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2003 sebesar 5
persen. Banyak kalangan memandang target ini terlalu optimistis. Alasannya,
kinerja perekonomian hingga semester pertama tahun ini masih jauh dari
menggembirakan.
Pertumbuhan ekonomi semester pertama 2002 dibandingkan dengan semester yang
sama tahun lalu hanya 2,87 persen. Padahal, target pertumbuhan ekonomi untuk
seluruh tahun 2002 adalah 4 persen.
Lebih jauh lagi, pertumbuhan semester pertama tahun ini kian didominasi oleh
sumbangan konsumsi rumah tangga yang meningkat sebesar 6,58 persen. Khusus
untuk triwulan kedua (April-Juni) 2002, pertumbuhan konsumsi rumah tangga
ini masih saja tetap melesat di atas 6 persen.
Satu-satunya komponen permintaan agregat lainnya yang masih mengalami
pertumbuhan positif ialah konsumsi pemerintah. Jadi, sudah merupakan fakta
yang tak terbantahkan bahwa memang konsumsilah yang sangat menjadi penopang
utama perekonomian.
Pertanyaannya, sampai kapan konsumsi bisa terus-menerus menjadi motor
penggerak satu-satunya bagi perekonomian untuk tetap berputar? Kalaupun
masih bisa diharapkan untuk satu-dua tahun ke depan, konsumsi hanya akan
mampu menggerakkan roda perekonomian ala kadarnya, yang niscaya dengan
kualitas pertumbuhan yang kian melorot.
Alasan untuk pesimistis bertambah besar karena komponen-komponen permintaan
agregat di luar konsumsi tak hanya menghadapi pertumbuhan yang menurun,
melainkan sudah mengalami pertumbuhan negatif. Selama semester pertama tahun
ini, pertumbuhan investasi (pembentukan modal tetap kotor) merosot sebesar
minus 2,6 persen. Ekspor barang dan jasa melorot lebih tajam lagi, yakni
minus 6,2 persen. Namun, yang paling parah adalah impor yang tumbuh minus
23,7 persen.
Walaupun kemerosotan impor memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan
ekonomi, ini merupakan pertanda bertambah lesunya aktivitas produksi
nasional karena sebagian besar industri kita masih sangat bergantung pada
barang modal dan bahan baku impor.
Kembali ke target pertumbuhan 5 persen untuk tahun 2003, agaknya persoalan
sudah sepatutnya bergeser dari sekadar perdebatan apakah terlalu rendah atau
sebaliknya, patut atau tidak patut. Melainkan difokuskan pada bagaimana cara
mencapainya dengan mengerahkan segala sumber daya dan memanfaatkan
kesempatan yang tersedia.
Perlu diingat bahwa kita telah berada di dalam perangkap pertumbuhan rendah
selama lebih dari lima tahun. Tahun 2003 harus dijadikan momentum untuk
keluar dari perangkap itu.
Bila tidak, bangsa ini akan benar-benar terjerat di dalam perangkap
pertumbuhan rendah untuk waktu yang sangat panjang sebagaimana dialami
negara-negara di Sub-Sahara Afrika dan Amerika Latin pada tahun 1980-an.
Ancaman yang lebih serius adalah bayang-bayang krisis kedua yang lebih dalam
ketimbang krisis yang kita alami sekarang ini.
***
SULIT dimungkiri bahwa daya saing dan iklim usaha di Indonesia telah
mengalami kemerosotan serius. Hampir seluruh lembaga pemeringkat
internasional di bidang keuangan dan nonkeuangan mendudukkan Indonesia pada
peringkat yang kian melorot dari waktu ke waktu.
Di segala bidang, praktis Indonesia mengalami kemerosotan, baik secara
absolut maupun relatif. Bagaimana hendak disanggah. Kenyataan memang
mengonfirmasikan hasil pemeringkatan yang dilakukan pihak luar. Tengok saja
penanaman modal asing yang anjlok.
Jangankan investor asing akan membawa modalnya ke Indonesia, kenyataan lebih
memilukan adalah larinya modal dari Indonesia ke luar negeri. Sosok-sosok
bangunan pabrik dan kantor mungkin masih tetap ada, namun pesanan atau order
telah beralih ke negara-negara tetangga.
Beberapa perusahaan transnasional tinggal menyisakan bangunannya sebagai
kantor pemasaran semata, tanpa melakukan proses produksi. Puluhan pabrik
sudah direlokasikan ke Indocina. Semua itu hakikatnya sama, yakni pelarian
modal, mengingat Indonesia kian kehilangan daya pikat dan kepastian usaha.
Masih hendak disanggah? Kita tengok saja konsekuensi dari gelombang pelarian
modal dalam bentuk demonstrasi buruh yang kehilangan pekerjaan. Masih
kurang? Kita menyaksikan betapa derasnya impor segala jenis barang di pasar
domestik.
Kalau yang membanjiri adalah mobil-mobil impor kita maklum. Kalau
buah-buahan dan sayuran, sikat gigi, perkakas pertanian dan pertukangan
sederhana, tekstil dan pakaian jadi, kayu lapis, serta makanan dan minuman
ringan yang merajai pasar kita, sepantasnya kita semua prihatin.
Memang ada sejumlah indikator yang masih menyejukkan. Angka-angka resmi
mengenai pengangguran, jumlah orang miskin, kucuran kredit ke pedesaan dan
UKM menunjukkan perbaikan. Juga munculnya jutaan unit usaha baru. Konsumsi
listrik pun masih meningkat dua digit.
Demikian pula untuk beberapa jenis barang konsumsi sehari-hari dan yang
tahan lama. Kalau dianalisa lebih jauh, kesemua indikator yang membaik ini
cenderung sebatas menggambarkan betapa sebetulnya daya tahan masyarakat dan
dunia usaha Indonesia cukup tangguh. Mereka mampu beradaptasi dan
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan di sekitarnya. Namun, daya
tahan mereka ada batasnya. Ada suatu batas dari social absorption capacity
yang kalau terlampaui maka keseluruhan sistem akan rontok.
***
SEORANG kerabat saya beberapa waktu yang lalu bertemu dengan seorang menteri
yang mengurusi sektor riil. Kepada sang menteri ia mengutarakan hasil
observasinya di sejumlah supermarket yang kian dibanjiri oleh buah-buahan
dan sayuran impor. Secara spontan sang menteri bereaksi dengan nada tinggi,
"Kata siapa?!"
Lain lagi cerita seorang petinggi perusahaan asing produsen elektronik.
Dengan lantang bercampur geram ia mengatakan pada suatu diskusi tertutup
baru-baru ini, "Saya yakin hampir seluruh barang elektronik impor tak
membayar pajak pertambahan nilai (PPN). Bagaimana produk dalam negeri bisa
bersaing dengan produk-produk impor kalau musuh kami datang dari dua arah
secara bersamaan, yakni barang ilegal dari luar negeri dan biaya produksi
yang terus naik di dalam negeri?"
Berita lebih mengenaskan lagi adalah perilaku birokrasi yang menganggap
enteng persoalan serius. Penyelesaian utang, misalnya, dilakukan dengan
sekadar mengutak-atik jatuh tempo obligasi, sementara skandal penjualan
aset-aset BPPN tak pernah diurusi dengan serius. Trilyunan rupiah menguap
dan terus berlangsung sampai sekarang, namun tak seorang pun pernah duduk di
kursi pengadilan, apalagi masuk penjara.
Apakah bangsa ini masih punya kesadaran kuat untuk benar-benar menyelesaikan
masalah sampai ke akarnya? Mengapa pengusaha dan buruh tak duduk bersama
dengan kesadaran penuh mencari penyelesaian yang saling menguntungkan?
Mengapa tak ada gerakan nasional untuk memberantas penyelundupan? Mengapa
aparat pajak masih merajalela melakukan praktik "kongkalikong" dengan wajib
pajak sehingga puluhan trilyun rupiah potensi penerimaan pajak menguap tak
jelas rimbanya.
Tatkala permasalahan bangsa sedemikian sangat rumitnya sehingga kita tak
tahu harus memulainya dari mana, maka sebenarnya dari mana pun kita memulai
niscaya akan sangat berarti sebagai pendobrak kebekuan. *
Search :