[Nasional-m] Panggung Lelucon DPRD vs Gubernur

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun Aug 25 23:48:01 2002


Media Indonesia
Minggu, 25 Agustus 2002

Panggung Lelucon DPRD vs Gubernur


PERTARUNGAN power antara lembaga legislatif dan eksekutif tidak hanya
terjadi di Jakarta, tetapi merembes ke daerah. Bahkan, pedang legislatif
daerah lebih galak dan binal.
Kita pernah menyaksikan kejatuhan Presiden BJ Habibie di tangan DPR dan MPR.
Kita juga pernah mengalami pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid oleh
MPR/DPR juga. Kejatuhan dua presiden itu dilakukan melalui Sidang Umum dan
Sidang Istimewa MPR. Sidang yang terjadwal, transparan, dan memiliki urgensi
mahapenting serta konstitusional. Konstitusional karena MPR memiliki hak
untuk memberhentikan presiden.
Apakah hak memecat kepala daerah dan gubernur juga ada di tangan DPRD? Para
ahli hukum dan politikus masih berdebat soal ini. Ada yang mengatakan DPRD
tidak memiliki kewenangan representatif. Karena itu, tidak berhak memecat
kepada daerah atau gubernur atas nama mandat rakyat.
Tidak peduli pada kewenangan eksplisit atau implisit, DPRD telah memainkan
pedang Democles. Di Surabaya dua pejabat wali kota ditendang DPRD. Dengan
alasan mangkir berkepanjangan, DPRD Surabaya memecat Cak Narto sebagai wali
kota dan mengangkat Bambang DH, wakil Cak Narto, sebagai wali kota yang
baru.
Tetapi, bulan madu Bambang DH dengan DPRD tidak berlangsung lama. Bambang
kemudian mengalami nasib yang sama dengan pendahulunya. Dia dipecat para
anggota DPRD yang dulu mengangkatnya.
Sekarang cerita yang sama terjadi di Banjarmasin. Di ibu kota Kalimantan
Selatan itu pertengahan pekan ini DPRD memecat Gubernur Kalimantan Selatan
Sjachriel Darham. Wakil Gubernur Husin Kasah yang merasa tidak bermasalah
juga dipecat. Karena ketika dipilih dia berada dalam satu paket dengan
gubernur, pemecatan pun harus satu paket.
Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Pemecatan terhadap Bambang DH di Surabaya
dan Sjachriel Dahram di Banjarmasin tidak efektif karena berbenturan dengan
wewenang Jakarta. Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno tidak mengakui pemecatan
itu.
Maka, terciptalah pejabat yang sah, tapi terkebiri. Wali Kota Surabaya
Bambang DH tidak bisa dicopot, tetapi dilarang mengeluarkan kebijakan
strategis. Dia ada, tetapi tidak efektif.
Sama halnya dengan Sjachriel Darham. Sehari setelah dipecat, dia kembali ke
Banjarmasin dan tetap menganggap dirinya gubernur. Kepulangannya ke
Banjarmasin disambut bagai pahlawan yang menang perang. Dia menginjakkan
kakinya di Banjarmasin sambil membaca puisi berjudul Untuk Apa.
Pemecatan gubernur dan wali kota oleh DPRD adalah gejala tentang kaburnya
supremasi hierarkis. Pejabat dan institusi kenegaraan tidak lagi mengerti
tentang rentang dan batas hak dan kewajiban. Semua institusi merasa jagoan
sehingga bisa saling mencegat dan memecat.
Ini tidak hanya kelucuan, tetapi kedunguan. Kedunguan di era reformasi yang
seharusnya mencerdaskan. Dungu, karena tidak mampu mengetahui hak dan
kewajiban. Lucu, karena pedang DPRD bisa menebas kursi gubernur yang juga
lucu karena sama-sama tidak terbuka soal agenda yang dipertentangkan.
Dan, lebih lucu lagi, pemecatan itu dilakukan karena takut pada desakan
massa. Lucu-lucu ini disempurnakan kelucuannya oleh Depdagri yang selalu
menggantung persoalan. Maka, lengkaplah lelucon legislatif dan eksekutif
dari pusat sampai daerah.