[Nasional-m] Undang-Undang Wajib Kerja Sarjana Hanya untuk Dokter?

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed Aug 21 01:49:05 2002


Kompas
Rabu, 21 Agustus 2002

Undang-Undang Wajib Kerja Sarjana Hanya untuk Dokter?Oleh Kartono Mohamad

DALAM pertemuan dengan DPR, wakil-wakil dari Forum Dokter Indonesia (FDI)
mengusulkan agar Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja
Sarjana dicabut karena diskriminatif (Kompas, 6/7/2002). Mungkin yang
dimaksud para wakil FDI itu adalah UU itu hanya berlaku bagi sarjana
kesehatan, bukan untuk semua sarjana.
Sebenarnya UU itu tidak diskriminatif karena tidak secara khusus menyebut
hanya berlaku bagi para dokter. Hanya saja dalam kenyataannya, UU itu
dijadikan dasar untuk memaksa dokter bekerja bagi pemerintah dan ditempatkan
di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di seluruh pelosok Indonesia.
Kesehatan merupakan masalah yang menyedihkan di Indonesia. Salah satu
penyebabnya, jumlah dokter masih amat kurang dibanding jumlah penduduk. Pada
awal tahun 1950-an, jumlah dokter di Indonesia hanya sekitar 2.500 orang
untuk "melayani" sekitar 80 juta penduduk.
Oleh karena itu, mulai tahun 1953 Universitas Indonesia memelopori sistem
pendidikan terpimpin untuk Fakultas Kedokteran (FK). Mahasiswa kedokteran
tidak lagi dapat seenaknya memilih sendiri kapan hendak maju ujian. Jadwal
kuliah dan ujian diperketat, pendidikan dipersingkat dari tujuh tahun
menjadi enam tahun dengan mengadaptasi sistem pendidikan dokter di Amerika
Serikat. Enam tahun kemudian, FK Universitas Indonesia mulai meluluskan
dokter dalam jumlah cukup besar (sekitar 100 orang) setiap tahunnya.
Saat itu, banyak pemerintah di dunia berpendapat, penyebab utama rendahnya
derajat kesehatan rakyat karena jumlah dokter yang amat kecil dibanding
penduduknya. Sebagian benar karena kehadiran dokter di masyarakat negara
berkembang diharapkan menjadi agent of change, pembawa perubahan menuju
masyarakat modern.
Dokter yang berpendidikan tinggi dan amat dihormati rakyat diharapkan dapat
menjadi pendidik dan pembimbing rakyat di tempat ia tinggal untuk memasuki
era modern. Hal ini pula yang diharapkan Pemerintah Filipina saat mereka
mengembangkan barrito doctors dengan menempatkan dokter di desa-desa
(barangay) tahun 1960-an.
Konsep puskesmas di Indonesia yang dikembangkan Bagian Kesehatan Masyarakat
bekerja sama dengan Universitas Leyden di akhir tahun 1960-an awalnya juga
demikian. Tetapi, entah mengapa, dalam pelaksanaan ketika puskesmas sudah
menjadi program Departemen Kesehatan, terjadi penyimpangan sehingga
puskesmas lebih berperanan sebagai balai pengobatan. Mungkin karena latihan
prajabatan bagi dokter puskesmas lebih ditekankan pada Pancasila dan
kewajiban monoloyalitas daripada mengajari mereka untuk menjadi agent of
change bagi masyarakat.
Cita-cita menjadikan puskesmas seperti Barangay Health Centre di Filipina
kian tidak tercapai karena motivasi para dokter hanya menunggu kesempatan
spesialisasi, ditambah miskinnya perlengkapan dan anggaran di puskesmas.
Ditambah lagi dengan penugasan puskesmas untuk menjadi sumber pendapatan
asli daerah (PAD).
Penggunaan UU WKS
Untuk memenuhi puskesmas yang sudah didirikan pemerintah dengan tenaga
dokter, Depkes menggunakan UU No 8/ 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (WKS)
sebagai dasar "penempatan paksa". Dalam situasi kekuatan penekan melalui
kekuasaan yang amat kuat pada pemerintahan Soeharto, tidak banyak yang
menyadari, sebenarnya Menteri Kesehatan telah menggunakan undang-undang itu
secara tidak benar.
UU No 8/1961 mengenai dibentuknya Dewan Penempatan Sarjana (DPS) sebelum
para sarjana diwajibkan bekerja untuk pemerintah. DPS dipimpin Menteri
Perburuhan (kini Tenaga Kerja). Untuk itu, muncul Peraturan Pemerintah (PP)
No 237/1961 tentang dibentuknya DPS. Dalam PP itu disebutkan, para menteri
yang memerlukan tenaga sarjana menyampaikan kebutuhannya. Dewan akan
menetapkan berapa sarjana dapat diberikan, berapa lama mereka wajib bekerja
di pemerintah, berapa besar renumerasi (penggajian) yang akan diberikan.
Tidak disebutkan, mereka yang dikenai WKS diangkat sebagai pegawai negeri.
Dari undang-undang dan peraturan pemerintah itu tidak ada satu pasal pun
yang menyebutkan, Menteri Kesehatan (Menkes) dapat mewajibkan para sarjana
kesehatan untuk bekerja pada pemerintah. Pelanggaran mengenai hal itu,
selama ini tidak diperhatikan orang selain karena besarnya kekuasaan
pemerintah waktu itu juga karena dukungan psikologis dari semua pihak
termasuk mereka yang mengerti hukum.
Sebenarnya Menkes dapat langsung mewajibkan dokter untuk bekerja bagi tugas
pemerintah dengan menggunakan UU No 10/1951. Tetapi, itu pun sebatas saat
negara dalam keadaan genting, dan batasan genting itu sudah disebutkan dalam
UU itu. Jika pemerintah tidak dapat menunjukkan bahwa negara dalam keadaan
genting seperti dimaksud dalam UU No 10/1951, maka Menkes tidak dapat
memaksa dokter untuk bekerja untuk pemerintah.
Dukungan psikologis itu umumnya beranggapan, dokter harus bersedia
ditempatkan di daerah terpencil karena dibutuhkan rakyat saat rakyat sakit.
Juga anggapan, dokter harus mengabdi kepada negara melalui WKS itu.
Seolah-olah dengan kehadiran dokter dan dokter gigi di tempat terpencil,
kesehatan rakyat akan meningkat.
Kenyataan membuktikan, tingkat kesehatan rakyat Indonesia tetap terburuk di
Asia meski dokter sudah disebarkan ke tiap kecamatan sejak tahun 1971. Amat
sedikit pejabat pusat maupun daerah yang memahami bahwa peran utama untuk
meningkatkan kesehatan rakyat ada pada pendidikan, penyediaan air bersih,
dan perbaikan sanitasi; baik di tempat kerja maupun di tempat mereka
tinggal. Biayanya pun jauh lebih murah daripada menyediakan rumah sakit atau
dokter; apalagi jika mereka tidak dilengkapi sarana bekerja yang memadai.
Penyimpangan yang dilakukan Menkes ini kian parah saat Depkes tidak mampu
lagi menyerap dan menggaji dokter baru, lalu mengatakan, wajib kerja sarjana
dapat dilakukan di instansi swasta. Makin tidak jelas lagi tujuan penggunaan
UU WKS dalam hal ini.
Oleh karena itu, bukan UU WKS itu yang seharusnya dicabut, tetapi Menkes
hendaknya tidak lagi menggunakan UU No 8/1961 itu secara sepihak tanpa
mengikuti aturan yang ditetapkan UU itu sendiri. Bila Menkes masih
menggunakan UU itu untuk memaksa dokter, para dokter mungkin dapat
mengajukan class action yang sedang musim saat ini.
Yang juga menarik dari berita Kompas itu adalah, mengapa FDI dan bukan IDI
yang maju ke DPR untuk memperjuangkan nasib para dokter Indonesia? Ke mana
IDI selama ini?
Kartono Mohamad Dokter tinggal di Jakarta, mantan Ketua Pengurus Besar
Ikatan Dokter Indonesia
Search :










Berita Lainnya :
•Digitalisasi Televisi di Indonesia, Mungkinkah?
•KARIKATUR
•Perlukah Indonesia Menerapkan ''Marine Cadaster''?
•POJOK
•REDAKSI YTH
•"Risk Management" dan Degradasi Modal Bank
•TAJUK RENCANA
•Undang-Undang Wajib Kerja Sarjana Hanya untuk Dokter?