[Nasional-m] Quo Vadis Komisi Konstitusi?

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat Aug 17 23:00:14 2002


SUARA PEMBARUAN DAILY

Quo Vadis Komisi Konstitusi?

Bagi Indonesia yang tahun ini memasuki usia ke-57, soal penyempurnaan UUD
memang menjadi pertimbangan sejak awal berdirinya republik ini. Dalam
perjalanan sejarahnya, Presiden Soekarno pun, di awal-awal berdirinya negara
ini (dalam rapat PPKI, tanggal 18 Agustus 1945) pernah mengungkapkan, UUD
1945 dibuat secara tergesa-gesa, hanya ditetapkan dalam waktu sehari dengan
statusnya yang sementara.
UD 1945 ini, menurut Soekarno, tak lengkap, tak sempurna, dan tidak
ditetapkan oleh badan yang mewakili rakyat. Untuk itu, UUD 1945 akan diganti
dengan UUD baru (reformasi konstitusi) yang sifatnya lebih lengkap dan lebih
sempurna dalam suasana yang lebih tenteram. Menyitir pernyataan Soekarno,
sudahkan keinginan itu terlaksana? Dan, sudah berdaulatkah bangsa ini?
Perasaan lega terpancar dari para anggota MPR pada Minggu, 11 Agustus 2002.
Hari itu, Sidang Tahunan (ST) MPR berakhir dengan karya yang mereka
banggakan adalah menuntaskan amandemen UUD 1945. Kelegaan yang terbesar
adalah ketika Fraksi TNI/Polri menarik kembali usulannya tentang pembentukan
Komisi Konstitusi (KK) masuk Aturan Tambahan UUD 1945 hasil amandemen.
Setidaknya, hal itu terlukis melalui pernyataan Ketua MPR Amien Rais.
"Saya kira, sikap itu menunjukkan betapa bijak dan realistisnya TNI/Polri
karena setelah menyampaikan usulan yang berbeda dengan fraksi-fraksi lain,
akhirnya mereka menarik usulannya," kata Amien seusai menutup rapat
paripurna keenam (lanjutan) ST MPR 2002 di gedung MPR Jakarta, Minggu dini
hari.
Persoalan krusial di akhir sidang paripurna ke-6, terjadi perdebatan sengit
mengenai posisi KK, apakah di Rancangan Ketetapan (Rantap) MPR atau di dalam
Aturan Tambahan UUD 1945. Setelah semua fraksi menyetujui pembentukan KK,
muncul usulan dari Fraksi TNI/Polri didukung Fraksi Kebangkitan Bangsa yang
menginginkan KK dimasukkan dalam Aturan Tambahan UUD 1945.
Tak terelakkan, masa sidang yang sebelumnya direncanakan berlangsung 10
hari, mulai dari tanggal 1 hingga 10 Agustus 2002, mundur hingga tanggal 11
Agustus. Namun akhirnya seluruh anggota MPR berlega hati lantaran Fraksi
TNI/Polri menarik usulannya. Dengan begitu, KK masuk dalam Rantap, yang
pembentukannya diserahkan kepada Badan Pekerja (BP) MPR. Organ di lembaga
tertinggi negara itu kelak melaporkannya pada Sidang Majelis pada tahun
2003.
Cibiran
Para anggota MPR boleh berlega hati. Namun, di luar persidangan dan setelah
masa persidangan berakhir, hasil ST MPR dinilai tak mewakili aspirasi
rakyat. Tak pelak cibiran pun muncul. Lagi-lagi MPR membuat kecewa rakyat,
terutama berkaitan dengan pembentukan KK.
Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia (PBHI), Hendardi, mengkritik tajam sikap kalangan MPR yang
membanggakan diri dengan hasil sidang tahunannya. Karya luhur anak bangsa
anggota MPR sebagai satu lompatan besar, sebagaimana disampaikan Ketua MPR
Amien Rais mengenai hasil ST 2002 dinilainya tidak hanya menggelikan, tapi
juga manipulatif.
"Dalam terminologi negara demokratis modern, proses dan hasil perubahan IV
UUD '45 tidaklah membanggakan,'' ujarnya kepada Pembaruan di Jakarta,
baru-baru ini. Proses perubahan I sampai IV, lanjutnya, sangat miskin dari
partisipasi publik.
Dia pun mengamati dialog intensif antara rakyat yang diwakilinya dan anggota
MPR tidak pernah terjadi. "Dari prosesnya yang kurang demokratis, apakah
mungkin hasil perubahan IV sebagai 'lompatan besar' lebih merupakan upaya
memuji-muji diri sendiri (narsistik),'' ujar Hendardi.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), Salahuddin Wahid, pun menilai
banyak hal yang tidak memuaskan dari hasil ST MPR 2002. Namun dia dan
seperti halnya anggota masyarakat lainnya mau tak mau harus menerimanya.
Mengenai soal KK, baik Hendardi maupun Salahuddin Wahid masih mempertanyakan
seberapa besar peran KK untuk menjadikan perubahan UUD 1945 benar-benar
mewakili aspirasi masyarakat. Sebab, komisi tersebut dikhawatirkan hanya
menjadi kepanjangan tangan MPR. Begitu pula dari segi pembentukannya yang
terlalu lama, sebab mesti menunggu sampai tahun 2003. "Kenapa komisi itu
tidak dibentuk saja sekarang dan bekerja,'' tutur Salahuddin.
Pakar Hukum Tata Negara, Dr Albert Hasibuan SH, dalam percakapan dengan
Pembaruan di Jakarta, Selasa (13/8), berpendapat KK jangan hanya diarahkan
kepada pengkajian atas seluruh amandemen, akan tetapi juga menyelaraskan
seluruh hasil amandemen termasuk hubungan dan fungsi serta kedudukan lembaga
negara sehingga terjadi perimbangan dalam pembagian kekuasaan serta hubungan
antarlembaga negara. Penyelarasan harus mencerminkan negara Indonesia yang
utuh dengan kedaultan di tangan rakyat.
Menurut Albert, prinsip kedaulatan rakyat yang telah ditegakkan melalui
amandemen UUD 1945 hendaknya benar-benar dapat terwujud dalam satu mekanisme
yang tidak lagi bersifat uji coba. Sistem bikameral bahwa MPR terdiri dari
DPR dan DPD diharapkan benar-benar dapat mejadi lembaga yang dapat berperan
dalam menyerap aspirasi rakyat.
Ketua Komisi II DPR, A Teras Narang, yang ditemui di tempat terpisah
mengemukakan, persoalan krusial seputar posisi KK hanyalah dilatarbelakangi
satu keinginan agar hasil amandemen UUD 1945 benar-benar dapat diterapkan.
Pembentukan KK, jelasnya, mengacu kepada pernyataan Presiden Megawati
Soekarnoputri dalam pidatonya pada tanggal 16 Agustus 2001. Ada tiga hal
yang diharapkan Presiden berkaitan dengan pembentukan KK, yakni sebagai
lembaga yang bertugas menyelaraskan, menyempurnakan, dan melengkapi hasil
amandemen UUD 1945 oleh MPR.
Lima Kesepakatan
Kini, lanjut Teras Narang, MPR telah menuntaskan amandemen yang dilandasi
dengan lima kesepakatan fraksi-fraksi. Pertama, pembukaan dipertahankan;
kedua, mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia; ketiga,
mempertahankan sistem presidensial; keempat, amandemen sebagai adendum;
kelima, norma dalam penyelarasan dimasukkan dalam pasal.
Jadi, atas dasar lima kesepakatan itu, jelasnya, yang diinginkan bukan
terjadinya konstitusi baru. Di samping itu, juga tak diharapkan sejarah
kembali berulang, amandemen UUD 1945 mengalami kegagalan seperti yang pernah
terjadi pada tahun 1955. Dari situlah kemudian disetujui KK dibentuk, yang
tertuang dalam Ketetapan MPR RI/I/ 2002.
Ketetapan itu menentukan pembentukan KK dilaksanakan oleh BP MPR.
Penjabarannya lebih lanjut, BP MPR bertugas untuk mempersiapkan susunan dan
kedudukan KK, tugas dan kewenangannya. Semua itu diharapkan selesai pada
tahun 2003, dan dilaporkan pada Sidang Majelis. Bila dalam Sidang Majelis
2003 pembentukan KK diterima, itu berarti komisi tersebut sudah bisa
bekerja.
Hasil kerja KK kemudian dilaporkan dalam Sidang Majelis 2004. Di situlah
keputusan diterima atau ditolaknya hasil kerja KK.
Menjadi pertanyaan - kalau tak mau disebut sebagai kejanggalan - seandainya
hasil kerja KK ditolak majelis, maka yang terjadi adalah pembentukan KK
menjadi mubazir. Bila itu terjadi, itu namanya hanya membuang-buang waktu
dan tenaga. Di sinilah yang dikhawatirkan berbagai kalangan bahwa KK kembali
menjadi permainan politik semata yang tidak menyentuh substansi
ketatanegaraan. Rakyat juga yang menjadi korbannya.
Soal hasil amandemen dari pertama hingga keempat, yang sesungguhnya
digulirkan atas adanya tuntutan reformasi berkaitan pemberesan sistem
ketatanegaraan yang belum sempurna, nyatanya itu pun masih bisa mengundang
berbagai interpretasi di dalam pelaksanaannya nanti.
Contohnya, pelaksanaan hasil amandemen berkaitan dengan perbaikan sistem
ketatanegaraan yang bermaksud melakukan pemisahan kekuasaan (eksekutif,
yudikatif, legislatif), dengan adanya perimbangan kekuasaan (check and
balances system) harus diikuti perbaikan dan pembuatan undang-undang di
tataran operasional hasil amandemen UUD 1945 (antara lain UU Parpol, Pemilu,
Otonomi Daerah, dan Mahkamah Agung, Kepresidenan di mana presiden akan
dipilih secara langsung - Red).
Kedaulatan Rakyat
Teras menjelaskan, prinsip kedaulatan rakyat di Indonesia tidak bisa
mengambil alih teori pemisahan kekuasaan secara murni. Indonesia menganut
sistem pendelegasian kekuasaan.
Ia menggambarkan, kedaulatan rakyat itu didelegasikan ke berbagai lembaga
negara, dalam hal ini MPR dengan sistem dua kamar, yakni DPR dan DPD,
Mahkamah Agung (MA), termasuk Mahkamah Konstitusi (MK), lalu BPK dan
Presiden. "Itulah sistem pendelegasian secara konstitusi setelah amandemen
UUD 1945,'' jelasnya.
Menjadi menarik, selain pembentukan KK yang dibayang-bayangi kemubaziran,
soal MK pun bisa mengundang polemik. MK yang berada di MA ini yang mempunyai
kewenangan menilai berbagai konflik antarlembaga negara, salah satunya
impeachment yang dilakukan DPR terhadap Presiden, kedudukannya sangat
resisten. Karena, selain perekrutan anggota MK yang konon hanya berjumlah
sembilan orang (dengan komposisi tiga wakil dari legislatif, tiga wakil dari
yudikatif, dan tiga wakil dari eksekutif), tidak jelas mekanismenya dan
sangat sarat diwarnai kepentingan politik dan independensinya pun bisa
dipertanyakan.
Ujung-ujungnya bisa jadi negara ini hanya ditentukan oleh sembilan orang di
mana partisipasi rakyat terabaikan. Mengenai persoalan MK tersebut, Teras
sependapat bila hal itu dibicarakan bersama-sama untuk solusinya.
PEMBARUAN/WOLAS KRENAK


Last modified: 16/8/2002