[Nasional-m] Refleksi Makna Kemerdekaan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Aug 16 06:24:06 2002


Suara Karya

Refleksi Makna Kemerdekaan
Pembangunan, Perjuangan, Dan Kemerdekaan
Oleh Sih Handayani dan F Nurdiana

Jumat, 16 Agustus 2002
Tanpa terasa, Indonesia sudah menapaki tahun ke-57 kemerdekaan. Jika
kemudian kita mengibaratkan sebagai makhluk hidup, maka secara psikologis,
usia 57 adalah usia yang rawan dan bisa dikatakan sudah mendekati tahap ajal
(lihat rata-rata umur penduduk di Indonesia).
Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika kemudian kita dituntut untuk selalu
menjaga kondisi "kesehatan". Sebab, jika tidak maka kita akan mudah diserang
berbagai model penyakit, dari yang tingkat rendah sampai yang paling akut.
Sayangnya, kita seolah-olah tak mengacuhkan ancaman kesehatan tersebut dan
terus terbuai seakan-akan masih ABG yang kondisinya fit, enerjik, dan aktif.
Artinya, kasus ini harus diwaspadai.
Sebenarnya, kekhawatiran terhadap hal itu sudah terlihat dari kasus-kasus
yang terjadi selama 4 tahun terakhir ini. Paling tidak, khususnya dalam
fenomena lepasnya sejumlah daerah di era reformasi. Oleh karena itu, kasus
Timor-Timur yang sukses merdeka lepas dari Indonesia seharusnya menjadi
pelajaran berharga untuk tidak terulang di masa nanti. Ini bisa dilihat
misalnya ancaman Aceh Merdeka, kasus pergolakan di Maluku dan kasus-kasus
lain.
Yang justru menjadi pertanyaan, bagaimana kita menyikapi semua tantangan
itu, ataukah kita justru terbuai dengan berbagai kamuflase saat ini?
Pertanyaan ini sangat mendesak untuk dikaji. Sebab jika tidak maka
kekhawatiran dan kecemasan publik terhadap makna kemerdekaan bisa saja
terjadi. Lalu, bagaimana sebaiknya?
Instrospeksi


Besok hari Sabtu 17 agustus 2002, Indonesia merayakan 57 tahun kemerdekaan.
Kata orang bijak, perayaan kemerdekaan selalu identik dengan proses
introspeksi untuk merenung tentang semua proses panjang perjuangan.
Alasannya karena kemerdekaan itu bukanlah tujuan akhir, tapi justru tujuan
awal untuk menapaki perjuangan yang komplek dan berkelanjutan.
Oleh karena itu, wajar jika kemudian di kampung-kampung diadakan acara
tahunan yang biasa disebut dengan "malam tirakatan". Sayangnya, banyak orang
bijak juga yang menyatakan bahwa acara tahunan dalam bentuk malam tirakatan
banyak berubah makna yaitu dari esensi proses perenungan menjadi acara
"hore-hore". Bahkan, ada juga yang justru menyatakan bahwa malam tirakatan
merupakan "reuni" bagi warga kampung setelah sekian periode sulit untuk
dikumpulkan (selain acara kerja bakti).
Tentu sangat disayangkan jika kemudian masyarakat justru salah kaprah dalam
mencari makna kemerdekaan yaitu hanya dengan mengadakan acara tirakatan.
Meski demikian, tentu acara tersebut juga tidak bisa disalahkan begitu saja.
Hal yang lebih penting adalah memanfaatkan semaksimal mungkin perayaan
kemerdekaan.
Memang banyak cara yang bisa dilakukan untuk lebih mendukung perayaan
kemerdekaan dan fakta ini tidak hanya terjadi di negara miskin - berkembang,
seperti Indonesia, tetapi juga di negara industri - maju. Oleh karena itu,
sangat beralasan jika kemudian ada kesamaan dalam menyikapi seremonial
perayaan kemerdekaan. Dari sejumlah agenda yang paling mendesak untuk bisa
berintrospeksi menikmati perayaan kemerdekaan ini, salah satunya yang
terpenting yaitu bagaimana meneruskan perjuangan kemerdekaan itu sendiri.
Yang dimaksud dengan perjuangan tentunya sangat luas. Kalau dulu, republik
ini terus berjuang mencapai kemerdekaan, maka saat ini perjuangannya
terfokus pada bagaimana meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran secara
berkeadilan. Sebenarnya tujuan ini identik dengan cita-cita Bung Hatta yang
saat ini sedang diperingati seabad. Selain fakta tujuan tersebut, perjuangan
lain yang juga relevan untuk bisa dilakukan yaitu memerangi kemiskinan dan
penangguran.
Alasannya karena kemiskinan, pengangguran dan proses pencapaian
kesejahteraan - kemakmuran yang berkeadilan adalah mata rantai yang tidak
bisa dipisahkan. Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi untuk mengabaikan
perjuangan ini. Sebab esensinya adalah untuk meningkatkan derajat hidup dan
kehidupan rakyatnya.
Sebenarnya, untuk mendukung perjuangan tersebut juga harus didukung oleh
perjuangan untuk bisa menciptakan kondisi stabilitas (dalam semua aspek,
tanpa terkecuali). Fakta menunjukan bahwa jaminan stabilitas akan memberikan
kepastian untuk terus berkarya. Dengan kata lain, jika stabilitas tak
tercapai, maka karya-karya nasional tak muncul dan ini secara tidak langsung
menghambat kinerja nasional.
Selain itu, bisa jadi kondisi yang tidak kondusif ini akan memicu keresahan
sosial dan kecemasan publik. Oleh karena itu, perlu diluruskan kembali bahwa
makna kemerdekaan yaitu bagaimana memperjuangkan semua cita-cita yang belum
tercapai, termasuk salah satunya adalah cita-cita Bung Hatta yang ingin
Indonesia tercinta ini lebih sejahtera dan makmur yang berkeadilan - merata.
Identifikasi


Diakui bahwa selama ini identifikasi tentang kemerdekaan selalu terkait
dengan proses pembangunan. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika perayaan
ke-57 tahun kali ini kita dituntut untuk lebih mawas diri. Selain itu,
pejabat publik - elite politik juga banyak diharapkan mampu untuk
introspeksi. Alasannya karena perayaan ke-57 ini bertepatan dengan
peringatan seabad Bung Hatta, yang notabene dikenal dengan tokoh yang sangat
santun, bijak, lugas, jujur, dan arif.
Selain itu, harapan untuk berintrospeksi tersebut juga sangat terkait dengan
adanya berbagai kebijakan yang dilakukan pejabat publik selama ini ternyata
kurang menunjukan adanya sense of crisis. Lihat misalnya kritikan terhadap
pelaksanaan ST-MPR yang menelan dana Rp 20 miliar, sementara hasilnya
biasa-biasa saja. Artinya, tidak ada salahnya jika dalam perayaan 57 tahun
kemerdekaan ini, semua pihak dituntut untuk lebih dewasa dan arif.
Yang justru menjadi pertanyaan, apakah para elite politik kita dan petinggi
di negara ini, serta pejabat publiknya berkenan untuk melakukan introspeksi?
Pertanyaan ini tentunya bukan tak beralasan sebab media massa juga sudah
berkali-kali menyentil perilaku para petinggi di negara ini. Sayangnya,
sentilan itu justru dianggap sebagai guyonan dan atau glenyengan khas media.
Bahkan, begitu sinisnya mereka dalam menganggap sentilan ini, maka tidak
jarang dianggap seperti peribahasa: "anjing menggonggong, kafilah berlalu".
Pers dan media massa-pun tidak mau kalah sinis dalam menanggapi ini dan
mereka-pun juga mengibaratkan: "sambil menggonggong, kafilah berlalu". Jadi,
antara keduanya telah terjadi konflik atas dalih kepentingan yang berbeda,
yaitu yang satu menyuarakan aspirasi publik dan satunya lagi atas dasar
kepentingannya sendiri.
Adanya dualisme dalam menyikapi makna kemerdekaan ini, maka tak ada salahnya
jika saat ini pemerintah khususnya kepemimpinan Megawati lebih peduli
terhadap tuntutan reformasi dan recovery. Bahkan, proses keyakinan ini juga
didukung atas munculnya Tap tentang pemulihan ekonomi seperti yang telah
dirumuskan dari hasil ST-MPR kemarin.
Bahkan, untuk menyukseskan tuntutan itu, pemerintah juga sudah berusaha
untuk dapat membentuk crisis center yang diharapkan bisa sesegera mungkin
mendukung terhadap pencapaian target reformasi - recovery. Meski di satu
sisi, rencana pembentukan crisis center mendapat kritikan, tapi di sisi
lain, eksistensinya tetap diperlukan. Alasan dikritik yaitu karena
sebelumnya pemerintah telah membentuk Indonesia Recovery Fund (IRF) tetapi
sampai sekarang kinerjanya masih kurang optimal.
Oleh karena itu, publik justru mempertanyakan apakah pembentukan crisis
center nantinya akan seperti kasus IRF? Memang diakui kini di Indonesia
terlalu banyak lembaga - badan - forum yang dibentuk atas dalih reformasi -
recovery, sayangnya tak mampu memberikan kontribusi yang optimal.
Lepas dari itu semua, yang jelas, kemerdekaan telah kita raih. Meski kedua
proklamator telah meninggalkan kita namun cita-citanya tetap menjadi
tantangan untuk dicapai. Oleh karena itu sangatlah beralasan jika kemudian
publik mengartikan kemerdekaan sebagai suatu proses pembangunan. Padahal
laju pembangunan identik dengan perjuangan dalam semua bidang
(poleksosbudhankam). Jadi, mengapa kita tidak berusaha untuk berjuang demi
cita-cita kemerdekaan yaitu masyarakat adil - makmur - sejahtera.
(Sih Handayani, dosen STIE Trianandra Solo dan F Nurdiana, dosen UMS