[Nasional-m] Merdeka?

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Aug 16 00:48:07 2002


Kompas
Jumat, 16 Agustus 2002

Merdeka?
Oleh Limas Sutanto

KEMERDEKAAN bukanlah barang yang "jadi begitu saja". Ia senantiasa merupakan
proses, perjuangan, tumbuh-kembang, dan pemekaran. Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 pun tidak menjamin kemunculan
kemerdekaan sebagai sebuah barang jadi yang bisa segera dinikmati bangsa
Indonesia. Justru proses tersulit yang niscaya dialami, dititi, dan
diperjuangkan manusia atau bangsa dalam perekahan, tumbuh-kembang, dan
pemekaran kemerdekaan, adalah dialektika internal dalam jiwa si manusia
sendiri, serta dialektika eksternal antara si manusia dan masyarakat atau
bangsanya.
Dialektika internal dalam jiwa manusia warga negara terjadi dalam rangkuman
interaksi tak kunjung henti antara rasio sadar, afeksi bawah sadar, dan
rahmat Tuhan. Dialektika pemerdekaan akan menuju kondisi insani yang
ditandai peraihan kembali kemampuan untuk menyadari kebenaran atau realitas,
dan kemampuan membuat serta mengejawantahkan pilihan-pilihan secara rasional
sadar.
Dialektika pemerdekaan pada perspektif pergulatan internal jiwani individu
memungkinkan kian luas dan makin dalamnya peran rasio sadar dalam
mentransendensi desakan-desakan afeksi bawah sadar. Dialektika pemerdekaan
itu memungkinkan rasio sadar makin intim menimba inspirasi, hikmah, dan
berkat dari rahmat Tuhan. Maka kemudian boleh terlihat proses pemerdekaan
individu secara gradual memunculkan warga yang rasional sadar dalam
berpikir, bersikap, bertindak, dan berperilaku.
Lihatlah kini nasib individu warga Indonesia yang dikatakan "telah merdeka
57 tahun". Secara kognitif mereka semua bisa mengetahui betapa mereka tidak
boleh melakukan korupsi dan tidak boleh melakukan tindak kekerasan. Namun,
apa yang mereka ketahui itu tidak secara signifikan mereka ejawantahkan
dalam tindakan dan perilaku yang konsonan (sejalan). Justru yang mereka
ejawantahkan adalah tindakan dan perilaku yang disonan (bertentangan) dengan
khazanah kognisi mereka sendiri. Pada titik ini boleh disadari, betapa peran
rasio sadar sedemikian minimal, sebegitu lemah, dan miskin. Hamparan
individu warga Indonesia yang dikatakan "telah merdeka 57 tahun", lebih
banyak dikuasai desakan-desakan afeksi-bawah sadar yang irasional, impulsif,
kompulsif, otomatis, dan habitual, dalam rangkuman dua tema besar kekacauan
jiwa warga Indonesia paling mengerikan: korupsi dan tindak kekerasan.
Sungguhkah hamparan individu warga Indonesia telah merdeka?
***
DIALEKTIKA eksternal antara manusia dan masyarakat atau bangsanya pada
perspektif perekahan, tumbuh-kembang, dan pemekaran kemerdekaan terjadi
dalam rangkuman proses tak henti-henti pemenangan kesadaran akan kebersamaan
nan rasional, melampaui impuls-impuls pengagungan dan pengutamaan diri
sendiri, pengagungan dan pengutamaan suku, ras, golongan, keluarga,
kelompok, dan identitas keagamaan. Proses tak henti-henti itu menuju
pemerkuatan kesadaran akan kebersamaan nan rasional, yang sungguh menandai
kekuatan pengejawantahan semangat: "Berat sama dipikul, ringan sama
dijinjing," dan semangat: "Ayolah lakukan yang sungguh terbaik buat kita
semua", oleh hamparan mayoritas warga negara Indonesia dalam himpunan
kebangsaan Indonesia.
Lihat kini, bagaimana nasib himpunan mayoritas warga negara Indonesia yang
dikatakan "sudah merdeka 57 tahun"? Sungguhkah mereka bisa mengejawantahkan
transendensi kepentingan bersama nan sejati atas kepentingan diri sendiri?
Sungguhkah mereka telah bisa mewujudnyatakan pemenangan kesadaran akan
kebersamaan nan rasional, melampaui impuls-impuls irasional nonrealistis
habitual kompulsif berbasis kepicikan sentimen suku, ras, kelompok,
keluarga, golongan, dan identitas keagamaan?
Sungguhkah warga negara Indonesia mampu menundukkan dirinya sendiri yang
haus kekuasaan, dengan berkorban lewat pelepasan kekuasaan dari genggaman
tangannya demi kepentingan masyarakat luas yang benar-benar membutuhkan
penguasa baru atau pemimpin baru di era Indonesia yang sungguh baru?
Sungguhkah para "wakil rakyat" yang duduk mentereng di ruang-ruang sidang
gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat mampu
mentransendensi impuls-impuls irasional bawah sadar yang mendesak mereka
untuk kembali memecah belah Indonesia dengan mendikotomikan "pribumi" lawan
"nonpribumi" dalam horizon Indonesia? Deret panjang pertanyaan bisa
dibentangkan, oleh siapa pun yang sudi melihat realitas Indonesia kini yang
masih miskin kesadaran akan kebersamaan nan rasional.
Kesedihan mau tak mau mencuat kuat dan tebal di tengah deret pertanyaan
gugatan atas kemerdekaan Indonesia yang dikatakan "telah diraih sejak 57
tahun lampau". Namun, mestikah warga negara Indonesia dan bangsa Indonesia
berkecil hati? Bukankah kemerdekaan tidak pernah tampil sebagai barang jadi
yang bisa segera dinikmati? Bukankah pemerdekaan adalah proses gradual tak
henti, perjuangan terus-menerus, yang memang selalu memakan waktu sangat
panjang?
Maka mau tak mau satu ungkapan kunci niscaya mencuat: "Tabah, sabar, dan
terus berjuanglah dalam pemerdekaan nan sejati". Tabahlah rakyat Indonesia.
Sabarlah bangsa Indonesia. Terus berjuanglah rakyat dan bangsa Indonesia,
dalam alur pemerdekaan nan sejati. Titik awal pemerdekaan sudah
dikristalisasikan pada 17 Agustus 1945, lima puluh tujuh tahun silam, namun
perjuangan pemerdekaan masih terus berlangsung hingga kini dan masih akan
terus merebak nanti. Pemerdekaan sama sekali belum selesai.
Namun, selalu saja ada rasa khawatir bakal munculnya kemalasan, ketakacuhan,
dan ketakutan di tengah perjalanan amat panjang yang pasti melelahkan,
bahkan mungkin sekali membosankan, memuakkan, dan menjijikkan. Wajar pula
bila kini muncul kekhawatiran akan meresapnya kemalasan, ketakacuhan, dan
ketakutan di tengah perjalanan pemerdekaan Indonesia yang kian terasa
berbatu-batu, berkelok-kelok tajam, naik-turun tak karuan, amat berdebu
sampai memburamkan mata yang mau melihat ke depan. Bahkan, perjalanan amat
panjang itu mesti melewati jalan-jalan yang penuh perampok dan penjahat. Di
tengah kondisi demikian, muncullah kembali pertanyaan dari manusia yang
khawatir dan cemas: Sungguhkah perjalanan pemerdekaan itu bisa terus
berlangsung?
Jelas sekali, Indonesia butuh pengarah yang jujur, pengarah yang tidak
menjadikan jalan-jalan nan sulit itu kian berdebu tebal, pengarah yang
justru menjadikan mata bisa melihat jelas ke depan. Jelas sekali, Indonesia
butuh penjaga keamanan dan penegak aturan yang jujur, penjaga keamanan dan
penegak aturan yang benar-benar mematahkan ulah para perampok dan para
penjahat, bukan penjaga keamanan dan penegak aturan pura-pura, yang justru
bekerja sama dengan para perampok dan para penjahat, bahkan pula menjadi
perampok dan penjahat.
Jelas, Indonesia juga amat membutuhkan media massa penyebar semangat
pemerdekaan yang merawat daya juang rakyat dan bangsa, sehingga mereka
benar-benar selalu tabah, sabar, dan terus berjuang dalam alur pemerdekaan
nan sejati. Hamparan media massa yang bebas itu, sudilah berpihak pada
pemerdekaan Indonesia nan sejati, sediakan ruang-ruang kalian untuk
pemerdekaan sejati, kendati kalian mesti terus menyambung hidup dengan
memanfaatkan pula laba kapitalistis secara wajar.
Tanggal Tujuh Belas bulan Agustus tahun Dua Ribu Dua, rakyat dan bangsa
Indonesia tidak lagi cuma berteriak, "Merdeka!!" Kini mereka juga bertanya,
"Merdeka??" Mereka masih mempertanyakan kemerdekaan, karena mereka masih mau
meneruskan pemerdekaan.
Limas Sutanto, Psikiater, tinggal di Malang