[Nasional-m] Waspadai Pujian IMF

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed Aug 14 21:24:02 2002


SH 14/8/2002

 Waspadai Pujian IMF

Indonesia memang perlu menjalin kerja sama dengan negara manapun di dunia,
termasuk lembaga-lembaga keuangan internasional seperti International
Monetary Fund (IMF) Bank Dunia, negara-negara kreditor dan Bank Pembangunan
Asia (ADB) Tetapi kerja sama itu haruslah dilandasi prinsip saling
menguntungkan.
Barangkali siaran pers Deputi Direktur IMF untuk Asia –Pasifik Daniel Citrin
yang disampaikan hari Senin (12/8) yang memuji Indonesia, karena dinilai
sudah mencapai kemajuan dalam langkah-langkah pemulihan ekonomi perlu
diletakkan secara proporsional sehingga pemerintah tidak cepat terbuai.
Pihak IMF mengatakan, bahwa Indonesia sangat membutuhkan investasi
besar-besaran dalam upaya memulihkan ekonominya. Ucapan ini seolah-olah
menggambarkan, bahwa masuknya investor asing ke Indonesia tidak mungkin
tanpa melalui pintu IMF.
Kita yakin keinginan Indonesia untuk mencapai target defisit APBN menjadi
2,5 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) bisa berhasil bukan karena
jasa IMF. Pada hakekatnya target tersebut dapat dicapai apabila para
penyelenggara negara bekerja keras dan mempunyai political will untuk
menciptakan iklim yang kondusif bagi masuknya investor asing ke Indonesia.
Iklim yang kondusif tidak semata-mata dalam bentuk keringanan pajak dan
fiskal.
Hal ini perlu ditekankan, karena pujian IMF itu bukan tanpa maksud
terselubung, yang pada gilirannya juga akan merugikan Indonesia. Setelah IMF
berhasil meyakinkan Indonesia untuk menjual Bank Central Asia (BCA) IMF
menginginkan lagi divestasi Bank Niaga yang konon, dikatakan sebagai salah
satu daya tarik bagi investor asing. Namun di balik propaganda gencar itu,
IMF memang mempunyai maksud terselubung untuk membantu negara-negara
investor masuk ke Indonesia untuk meraih keuntungan yang besar di satu pihak
dan merugikan Indonesia di lain pihak.
Sudah terbukti, bahwa penjualan BCA sama sekali tidak membawa keuntungan
bagi pemerintah Indonesia apalagi dalam upaya menekan defisit APBN. Karena
hasil penjualan BCA itu hanya Rp 5 triliun, sementara karena 99 persen aset
BCA adalah dalam bentuk obligasi berbunga, pemerintah yang merekapitalisasi
BCA dengan obligasi harus membayar bunga obligasi sekitar Rp 7 sampai Rp 8
triliun. Bukankah ini merupakan kerugian bagi Indonesia.
Dengan desakan IMF agar Indonesia terus melakukan divestasi dan privatisasi,
dikhawatirkan akan makin banyak aset Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) yang
jatuh ke tangan investor asing dengan harga yang sangat murah. Dan inilah
sebenarnya yang diinginkan oleh IMF.
Dan ternyata setelah BCA jatuh ke tangan investor asing, tidak disusul oleh
peningkatan Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia. Bahkan sebaliknya,
malah investor yang ada di Indonesia pun justru angkat kaki. Ini jelas
menunjukkan, bahwa penjualan aset apalagi dengan harga murah bukanlah jalan
keluar bagi masuknya investor asing ke Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mengkaji lebih serius dan lebih dalam di
mana kelemahan kita dalam menarik investor asing ke Indonesia. Kita sangat
yakin, bahwa bargaining position Indonesia terhadap luar negeri adalah yang
paling menentukan masuknya modal asing ke Indonesia.
Termasuk dalam posisi tawar itu, antara lain kualitas pekerja Indonesia dan
keamanan di dalam negeri, terutama di daerah bergolak seperti Aceh, Maluku,
dan Poso. Perlu diakui pula secara jujur, bahwa para investor itu merasa
takut menghadapi terlalu banyak pemimpin di Indonesia yang masing-masing
menentukan kebijakan secara sendiri-sendiri mulai dari pusat sampai ke
daerah. Padahal investor asing menginginkan one strop service. *** *