[Nasional-a] [Nasional] Ulil: Mertua Tak Keberatan

nasional-a@polarhome.com nasional-a@polarhome.com
Wed Dec 18 04:24:01 2002


-----------------------------------------------------------------------
Mailing List "NASIONAL"
Diskusi bebas untuk semua orang yang mempunyai perhatian terhadap
Kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-----------------------------------------------------------------------
BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA RUNTUH
-----------------------------------------------------------------------

Rabu, 18 Desember 2002

Ulil: Mertua Tak Keberatan

MENANTU Gus Mus (KH Mustofa Bisri), Ulil Abshar Abdalla, kembali bikin geger
kalangan pimpinan ormas Islam, setelah mengangkat tema "Menyegarkan Kembali
Pemahaman Islam".
Alumnus Pondok Pesantren Maslakul Huda asuhan KH Sahal Mahfudh itu mengajak
berdiskusi tentang Islam pascatragedi 11 September, teror bom Bali, dan tuduhan
terhadap Jamaah Islamiyah (JI) sebagai organisasi teroris.

Ini untuk kali kedua setelah "Islam Warna-warni", sebuah iklan layanan
masyarakat yang ditayangkan di televisi, mendapat reaksi sejumlah pimpinan ormas
Islam berhaluan keras.

Menurutnya, umat Islam jelas dalam posisi sulit, karena propaganda pihak Barat
yang gencar itu bisa melahirkan stigma yang tidak mengenakkan.

Berangkat dari situlah, bapak dua putra yang sekarang mengibarkan bendera
organisasi dengan nama Jaringan Islam Liberal (JIL) itu mengajak untuk keluar
dari kejumudan (kebekuan).

Sebagai alumnus pesantren, dia menganggap berdiskusi sebagai satu hal yang
biasa, sebagaimana di perguruan tinggi. Berdiskusi, katanya, akan memberikan
jalan keluar jika terjadi kebuntuan menghadapi masalah.

''Pikiran yang saya sampaikan bukan hal baru, tapi hanya merefleksi pendapat
yang sering saya lontarkan dalam berbagai kesempatan sebelumnya,'' ujar pemikir
muda NU itu kepada Suara Merdeka, dalam perbincangan sekitar munculnya reaksi
atas tulisan opininya di media terkemuka di Jakarta belum lama ini.

Menurut dia, kalangan pesantren atau akademisi Islam, mereka tidak melihat ada
yang aneh dalam pemikirannya itu. Termasuk mertuanya sendiri, Gus Mus, juga
tidak mempermasalahkan substansi yang dia lontarkan. Hanya metode dan cara
penyampaiannya berbeda dari apa yang disampaikan kalangan kiai sepuh. ''Mertua
saya tak keberatan atas substansi yang saya sampaikan,'' ujarnya.

Reaksi berlebihan datang dari kalangan pimpinan ormas Islam yang sering disebut
garis keras, yang selama ini sering melontarkan gagasan untuk menerapkan syariat
Islam di negeri ini. Ulil dinilai melecehkan Islam dan diancam hukuman mati.

Saat menanggapi reaksi itu, dia mengatakan, mari berdiskusi dengan sehat, tidak
perlu menghakimi seperti tudingan melecehkan Islam.

Ulil mencoba meletakkan Islam sebagai sebuah "organisme" yang hidup dan dinamis
sesuai dengan perkembangan manusia. Bukan monumen yang dipahat pada abad ke-7
Masehi, lalu dianggap sebagai "patung" indah yang tak boleh disentuh tangan
sejarah.

Maka diperlukan penyegaran kembali pemikiran Islam yang cenderung membeku,
menjadi "paket" yang sulit didebat dan dipersoalkan. Pemikiran demikian,
menurutnya, amat berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri.

Untuk menuju ke arah itu, diperlukan penafsiran yang nonliteral, substansial,
kontekstual, dan sesuai dengan denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan
terus berubah. Juga, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di
dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai
fundamental. ''Mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan
mana yang tidak.'' tulis Ulil.

Kontekstual, dalam pengertian nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan
dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu, Asia Tengah, dan
seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanya ekspresi
budaya, dan tidak diwajibkan mengikutinya.

Ulil mencoba membuat contoh aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab
yang tak perlu diikuti. Misalnya jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot,
jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di
Arab.

Yang terpenting adalah nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu.
Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum.
Kepantasan sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan
manusia. Begitu seterusnya.

Selain itu, dia juga melontarkan pemikiran tentang umat Islam yang universal.
Umat Islam sebagai "masyarakat" atau "umat" yang tak terpisah dari golongan yang
lain. Umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan
itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan, bukan berlawanan, dengan
Islam. Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dan
lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. Alquran pun tidak pernah dengan
tegas melarang hal itu, karena menganut pandangan universal tentang martabat
manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama.

Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan antara kedudukan orang Islam
dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal
dalam tataran kemanusiaan ini.

Juga dibutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana kekuasaan
politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara
pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat
melalui prosedur demokrasi. Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut
membentuk nilai-nilai publik, tetapi doktrin dan praktik peribadatan agama yang
sifatnya partikular adalah urusan masing-masing agama.

Keadilan

Nilai yang diutamakan Islam adalah keadilan. Misi Islam paling penting adalah
bagaimana menegakkan keadilan, terutama di bidang politik dan ekonomi, budaya,
bukan menegakkan jilbab, mengurung kembali perempuan, memelihara jenggot,
memendekkan ujung celana yang bersifat furu'iyyah. Keadilan itu tidak bisa hanya
dikhotbahkan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk sistem dan aturan main,
undang-undang, dan sebagainya, dan diwujudkan dalam perbuatan.

Upaya menegakkan syariat Islam, menurut pemikiran Ulil, adalah wujud
ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang mengimpit mereka dan
menyelesaikannya dengan cara rasional.

Umat Islam menganggap, semua masalah akan selesai dengan sendirinya manakala
syariat Islam, dalam penafsirannya yang kolot dan dogmatis, diterapkan di muka
bumi.

Masalah kemanusiaan bisa diselesaikan dengan semata-mata merujuk pada
nilai-nilai ketuhanan yang universal, atau sunah yang telah diletakkan Allah
sendiri dalam setiap bidang masalah. Bidang politik mengenal hukumnya sendiri,
bidang ekonomi mengenal hukumnya sendiri, bidang sosial mengenal hukumnya
sendiri, dan seterusnya.

Ulil mengutip salah satu hadis, man araadad dunya fa'alaihi bil 'ilmi, wa man
araadal aakhirata fa 'alaihi bil 'ilmi (barang siapa hendak mengatasi masalah
keduniaan, hendaknya memakai ilmu, begitu juga yang hendak mencapai kebahagiaan
di akhirat, juga harus pakai ilmu.

Setiap bidang ada aturan, dan tidak bisa semena-mena merujuk kepada hukum Tuhan
sebelum mengkajinya lebih dulu. Setiap ilmu pada masing-masing bidang juga terus
berkembang, sesuai dengan perkembangan tingkat kedewasaan manusia. Sunah Tuhan,
dengan demikian, juga ikut berkembang.

Sudah tentu hukum-hukum yang mengatur masing-masing bidang kehidupan itu harus
tunduk kepada nilai primer, yaitu keadilan. Karena itu, syariat Islam hanya
merupakan sehimpunan nilai-nilai pokok yang sifatnya abstrak dan universal.
Bagaimana nilai-nilai itu menjadi nyata dan dapat memenuhi kebutuhan untuk
menangani suatu masalah dalam periode tertentu, sepenuhnya diserahkan kepada
ijtihad manusia itu sendiri.

Pandangan bahwa syariat adalah suatu "paket lengkap" yang sudah jadi, suatu
resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud
ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami sunah Tuhan itu sendiri. Mengajukan
syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah sebentuk kemalasan
berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah; sebagai
bentuk eskapisme dengan memakai alasan hukum Tuhan. Eskapisme inilah yang
menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana.

Ulil menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah. Rasul memang
berhasil menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi
Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular, dan
kontekstual. Tidak diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah, sebab apa yang
dilakukan olehnya di Madinah adalah upaya menegosiasikan antara nilai-nilai
universal Islam dan situasi sosial di sana dengan seluruh kendala yang ada.
Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-off antara "yang universal" dan "yang
partikular".

Di sinilah, umat Islam harus ber-ijtihad mencari formula baru dalam
menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri.
"Islam"-nya Rasul di Madinah adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam
yang universal di muka bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam
dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah one
among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka bumi.

Karena itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan melihat contoh di Madinah
saja, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan.

Ulil memiliki pendapat, wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi; wahyu terus turun
kepada manusia. Wahyu verbal memang telah selesai dalam Alquran, tetapi wahyu
nonverbal, dalam bentuk ijtihad akal manusia, terus berlangsung.

Dalam tulisannya, Ulil melihat temuan besar dalam sejarah manusia sebagai bagian
dari usaha menuju perbaikan mutu kehidupan, adalah wahyu Tuhan pula, karena
temuan-temuan itu dilahirkan oleh akal manusia yang merupakan anugerah Tuhan.
Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak peduli agamanya, adalah milik
orang Islam juga; tidak ada gunanya orang Islam membuat tembok ketat antara
peradaban Islam dan peradaban Barat: yang satu dianggap unggul, yang lain
dianggap rendah. Sebab, setiap peradaban adalah hasil karya manusia, dan karena
itu milik semua bangsa, termasuk milik orang Islam.

Bagi Ulil, umat Islam dituntut mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu
penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena
itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk
yang datangnya dari luar Islam. Setiap golongan hendaknya menghargai hak
golongan lain untuk menafsirkan Islam berdasarkan sudut pandang sendiri. Yang
harus dilawan adalah setiap usaha untuk memutlakkan pandangan keagamaan
tertentu.

Dalam konteks ini, Ulil berpandangan lebih maju: setiap nilai kebaikan, di mana
pun tempatnya, sejatinya adalah nilai islami juga. Islam, seperti pernah
dikemukakan Nurcholish Madjid dan sejumlah pemikir lain, adalah "nilai generis"
yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan
kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran "Islam" bisa ada dalam
filosofi Marxisme.

Dia tidak memandang bentuk, tetapi substansi. Keyakinan dan praktik ke-Islam-an
yang dianut oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah
"baju", bukan itu yang penting, tapi nilai yang tersembunyi di baliknya.

Amat konyol umat manusia bertikai karena perbedaan "baju" yang dipakai,
sementara mereka lupa, inti "memakai baju" adalah menjaga martabat manusia
sebagai makhluk berbudaya. Semua agama adalah baju, sarana, wasilah, alat untuk
menuju tujuan pokok: penyerahan diri kepada Yang Mahabenar.

Ada periode di mana umat beragama menganggap "baju" bersifat mutlak dan
segalanya, lalu pertengkaran muncul karena perbedaan baju itu. Tetapi,
pertengkaran semacam itu tidak layak lagi untuk dilanggengkan kini.

Musuh Islam

Musuh Islam paling berbahaya sekarang adalah dogmatisme, sejenis keyakinan yang
tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan obat mujarab atas semua masalah,

dan mengabaikan bahwa kehidupan manusia terus berkembang, dan perkembangan
peradaban manusia dari dulu hingga sekarang adalah hasil usaha bersama,
akumulasi pencapaian yang disangga semua bangsa.

Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara "kami" dan "mereka", antara
hizbul Lah (golongan Allah) dan hizbusy syaithan (golongan setan) dengan
penafsiran yang sempit atas dua kata itu, antara "Barat" dan "Islam"; doktrin
demikian adalah penyakit sosial yang akan menghancurkan nilai dasar Islam itu
sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai
warga dunia yang satu.

Pemisah antara "kami" dan "mereka" sebagai akar pokok dogmatisme, mengingkari
kenyataan bahwa kebenaran bisa dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang
disebut "kami" itu, tetapi juga bisa di lingkungan "mereka".

''Saya berpandangan, ilmu Tuhan lebih besar dan lebih luas dari yang semata-mata
tertera di antara lembaran-lembaran Alquran.''

Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, ''Semua agama adalah tepat
berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama,
dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat, dan kadar kedalaman yang
berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu
keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang
tak pernah ada ujungnya. Demikian pandangan Ulil.

Syarat dasar memahami Islam yang tepat adalah dengan tetap mengingat, apa pun
penafsiran yang kita bubuhkan atas agama itu, patokan utama yang harus menjadi
batu uji adalah maslahat manusia itu sendiri.

Agama adalah suatu kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia adalah
organisme yang terus berkembang, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, maka
agama juga harus bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri.
Yang ada adalah hukum manusia, bukan hukum Tuhan, karena manusialah stake holder
yang berkepentingan dalam semua perbincangan soal agama ini.

Jika Islam hendak diseret kepada suatu penafsiran yang justru berlawanan dengan
maslahat manusia itu sendiri, atau malah menindas kemanusiaan itu, maka Islam
yang semacam ini adalah agama fosil yang tak lagi berguna buat umat manusia.
''Mari kita cari Islam yang lebih segar, lebih cerah, lebih memenuhi maslahat
manusia. Mari kita tinggalkan Islam yang beku, yang menjadi sarang dogmatisme
yang menindas maslahat manusia itu sendiri. Demikian pandangan Ulil yang dikenal
cendekiwan muda dari kalangan NU yang sering mengangkat nilai-nilai kebangsaan
dalam Islam. (A Adib-29t)


Copyright© 1996 SUARA MERDEKA

-------------------------------------------------------------
Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/
Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national
Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html
Nasional-m: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/
Nasional-a:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-a/
Nasional-e:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-e/
------------------Mailing List Nasional------------------